Kututup telingaku rapat-rapat. Kutimbuni kepalaku dengan bantal dan selimut. Suara-suara itu masih saja terdengar. Merobek-robek dadaku, memukul-mukul dan mencekik nafasku. Ingin aku menjerit, berteriak dengan sekuat tenaga, namun tiada sepatah katapun yang keluar. Mulutku seakan terkunci, lidahku serasa beku dan mendadak aku seperti orang yang bisu.
“Bagaimana mungkin orang menggembar-gemborkan Alloh. Berteriak-teriak menyebut nama Alloh. Bising! Padahal dia tidak pernah melihat Alloh yang disembah-sembah itu! Lucu!”
“Seperti orang gila saja. Seumur hidupku tak pernah aku dengar orang bertemu dan berbicara dengan Alloh!”
“Ah, itu kan hanya bikinan orang-orang saja. Orang yang bikin tatanan tertentu dan ingin diakui eksistensinya. Tak lebih dari itu.”
“Ya, orang-orang bodoh yang menganggap dirinya pintar. Apa keistimewaannya? Apa kalau sudah bisa yasinan lantas bisa jadi kaya? Itu si Rodin tiap malam jum’at ikut yasinan, hutangnya tak pernah habis, bahkan semakin bertumpuk. Apa pula keistimewaan Qur’an dan Ka’bah itu? Itu sih tidak beda dengan novel atau monumen didepan pasar pon…!”
“Hi..hi..hi..”
“Tidak pernah pula kudengar orang yang dahinya gosong karena mencium sajadah, lantas didepannya tiba-tiba ada sebongkah emas. Hi..hi..hi..”
Astaghfirullah…! Astaghfirullah….! Suara ibu tiriku dan temennya itu benar-benar membuatku pusing dan gila. Tawanya seperti setan yang menusuk-nusuk ulu hatiku. Ya Alloh, apa yang harus kulakukan? Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa.
Sudah berpuluh-puluh kali aku mencoba meyakinkan ibu tiriku. Bahwa Alloh itu ada. Segala kuasa ada ditanganNya. Tapi hasilnya? Nol besar! Usahaku gagal total. Paling-paling malah aku yang ditertawakan, dihina dan diejek. Anak kecil mau mengajari orang tua! Lahir saja baru kemarin sore! Begitu selalu yang dikatakan.
Aku tahu, barangkali Alloh belum membuka pintu hatinya. Tapi sampai kapan? Sekarang ini saja rasanya saya sudah seperti gila bila mendengar ocehannya.
Setiap saat kalau ada waktu senggang, Bu Tati tetangga rumah selalu saja datang. Kalau sudah ngobrol berdua yang dbicarakan selalu saja masalah itu. Dan itu sudah pasti! Apapun yang dibicarakan, pada akhirnya mengarah kesitu juga. Meremehkan, menghina dan meniadakan keberadaan Alloh. Aku yang terlahir sebagai muslim sungguh merasakan sakit dan terhina. Bagaimana mungkin dia berbicara seperti itu. Sungguh terkutuk.
Tapi walau apapun yang terjadi, aku telah bertekad untuk berdiri diatas keyakinanku sendiri. Untunglah diwaktu kecil dulu, ketika ibu kandungku masih hidup, aku sempat mengecap pelajaran keagamaan khusus, disamping belajar disekolah. Pasti ibu menginginkan anak satu-satunya kelak menjadi wanita yang sholehah, serta muslimah yang taat. Dan aku yakin, pendidikan dimasa kecilku itulah yang membuatku tegar memegang keyakinanku walau diombang-ambingkan ibu tiriku dirumah ini.
Namun betapa sakitnya hatiku, ketika ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku untuk memakai jilbab. Aku masih ingat, saat itu aku mengusulkan untuk memakai jilbab dan mengikuti les untuk lebih memperdalam Al-Quran. Apa kata ibu tiriku?
“Apa kau pikir dengan berjilbab semuanya menjadi beres? Lakukan saja kalau kau memang sudah sanggup membiayai sekolahmu sendiri.”
Aku tak mampu membantah. Tapi kalau dipikir, apa sebenarnya salahku? Aku hanya ingin menutup auratku, sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam. Tapi rupanya mereka tak pernah mau mengerti. Dipaksakan kehendaknya terhadapku. Bila dengan cara halus tak mampu, maka dengan kekerasan hingga aku tunduk. Tapi aku selalu mencoba untuk tegar menghadapinya.
Ditengah-tengah kebencian, kemarahan , kekecewaan serta tertekannya perasaanku dirumah ini, aku merasa seperti sebatang kara didunia ini. Sering aku membayangkan, bahwa hidupku tak ubah sebatang ilalang yang tumbuh ditengah-tengah batu padas.
Aku ini hanya sebatang ilalang yang tumbuh dengan sendirinya. Tak pernah tersiram oleh air, tak pernah dipupuk atau disentuh oleh tangan manusia. Dalam kesendiriannya dia harus mempertahankan hidup ditengah kekeringan dan ketandusan.
“Hi..hi..hi…”tawa kedua manusia itu kembali mengusikku.
Ya Alloh, Naudzubillahimindzalik!!! Kalau saja aku mampu, ingin aku membunuhnya. Orang-orang semacam itu sangat membahayakan. Dia bisa mempengaruhi orang-orang yang ada disekitarnya.
Mula-mula keluarga, tetangga lalu masyarakat luas. Kalau sudah begitu, apa jadinya negara Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa ini? Aku yakin, di Indonesia ini masih banyak manusia-manusia sejenis dengan ibu tiriku . Nonsen! Jika dikatakan semua orang di Indonesia ini hati dan jiwanya telah benar-benar mengakui adanya Tuhan. Pasti masih ada segelintir orang yang mencoba untuk mengingkarinya. Dan banyak kulihat buktinya.
“Tari….buatkan Bu Tati kopi. Kamu belum tidur kan?” suara ibu tiriku membuatku terkejut.
Aku masih terdiam. Kulempar bantal yang kupegangi sedari tadi ke pojok ranjang dan kuusap wajahku yang kusut dengan kedua tangan. Lalu dengan berat kulangkahkan kakiku ke dapur. Anganku masih melayang-layang. Apalagi setelah melihat dua sosok manusia yang berbincang dengan asyiknya diruang tengah. Darahku terasa mendidih. Tawanya yang cekikikan seperti setan. Ocehannya yang tak karuan, terus membayang dianganku.
Duk! Glontang…! Aku tersentak dari lamunan. Rupanya kakiku menyandung sesuatu. Kulongokkan kepalaku kebawah meja dapur itu. Sekaleng baygon tergeletak dikaki meja. Kuambil benda itu dan kukencangkan tutupnya.
Tiba-tiba terlintas pikiran buruk dibenakku. Kutimang-timang sekaleng baygon itu ditanganku. Aku akan melakukan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu !
Segera kuambil dua gelas. Kutuangkan kopi serta gula kedalamnya. Tinggal air, dan….Ah, benarkah aku akan membunuhnya? Membunuh? Benar-benar sudah mampukah aku? Bukankah membunuh itu suatu dosa besar yang dilarang oleh Islam? Apakah tidak ada cara lain selain membunuh mereka?
Tidak! Aku harus membunuhnya malam ini juga. Harus! Orang semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup. Ia akan menjadi racun yang amat ganas. Bunuh! Tidak! Bunuh! Tidak! Bunuh! Tidak! Kedua suara hatiku saling berebut untuk menguasai tindakanku selanjutnya.
Tiba-tiba tanpa kusadari, aku telah menuang baygon itu sebanyak dua sendok-dua sendok kedalam kedua gelas. Kemudian kuberi air panas dan kuaduk. Keringat dingin mengalir saat aku mengambil tatakan yang ada di buffet ruang tengah. Tidak! Aku harus sanggup membunuhnya. Orang itu akan mati sekali saja meneguk kopi yang kuhidangkan.
Grobyak! Cring…cring….suara dari dapur membuatku terkejut. Dengan sedikit cemas, perlahan-lahan kulangkahkan kakiku kedapur. Baru saja tiga langkah, tiba-tiba…cring…suara gelas pecah itu kembali terdengar. Kini langkahku terhenti, apa ada seseorang yang mengetahui perbuatanku? Tapi, benarkah? Tidak! Apapun yang terjadi aku akan hadapi.
Dengan ragu, kuteruskan langkahku yang tinggal sekitar tiga meter kedapur. Mula-mula dengan gemetar kuintip didalam dapur. Tidak ada orang. Gelasnya juga tidak ada diatas meja. Setelah yakin tak ada orang, kuberanikan diri memasuki dapur. Dan….Ya ampun! Aku melotot melihat apa yang terjadi.
Gelas beserta isinya itu telah jatuh berserakan didekat kaki meja. Seekor kucing mengendus-endus pecahan gelas-gelas itu. Aku terdiam sesaat. Tanganku mengelus kucing yang malang itu. Melihat kehadiranku, kucing itu melompat meninggalkan aku , lalu menghilang entah kemana.
Astaghfirullah….! Astaghfirullah…! Kuusap mukaku dengan kedua tangan. Berulangkali kubaca istighfar. Tiba-tiba badanku lemas, aku seperti terbangun dari mimpi buruk. Ya alloh, apa yang sebenarnya terjadi? Kau kirimkan kucing itu untuk menyadarkanku. Terimakasih ya Alloh…
Tiba-tiba air mataku menitik. Anganku melayang pada ibu yang telah tiada. Ya Alloh, aku pasrah pada kebesaranMu. Apapun yang dilakukan ibu tiriku, Engkaulah yang berhak menghukumnya. Aku sadar, aku hanya manusia biasa sebagaimana ibu tiriku, yang tak berhak menghukum sesamanya. Kalau masih mungkin, bukakan pintu hatinya yang telah berkarat itu, tapi kalau tidak, hukumlah dia setimpal dengan perbuatannya.
Aku yakin, hanya engkau yang maha tahu apa yang terjadi pada setiap makhlukMu. Kuserahkan segalanya pada kebesaranMu, ya Alloh. Dan biarkanlah sebatang ilalang ini tetap tumbuh dengan sendirinya dibawah bimbinganMu.
Perlahan aku berdiri. Kubuat dua gelas kopi manis dan kuhidangkan untuk ibu tiriku dan temannya. Setelah membersihkan lantai dan membuang pecahan gelas, aku bergegas ke sumur.
Di luar rembulan bersinar terang. Kutengadahkan wajahku menatap kebesaranNya. Angin malam berhembus pelan ketika kubasuh wajahku dengan air wudlu. Segar. Aku harus segera bersujud, aku belum sholat isya’.
--ooo—
0 komentar:
Posting Komentar