Jumat, 12 April 2013

Bakti Sepeda Jengki

Hari masih pagi. Matahari hangat menyentuh kulit, sinarnya menyusup di setiap celah, memberikan warna-warni indah. Aku sudah rapi, mengenakan setelan rok dan blus denim favoritku, berkerudung ceria bunga-bunga plus sepatu andalanku. Aku bermaksud mengunjungi para pakde dan eyang di kampung sebelah.

Namun niat silaturahmiku terganjal. Aku tidak kebagian alat transportasi. Dua motor dan satu sepeda mini telah beranjak dari garasinya. Yang tersisa hanya sebuah sepeda jengki jelek. Teronggok pasrah di pojok ruangan. Waduh, bagaimana ini? Ya sudahlah, yang penting niat silaturahmi terpenuhi. Maka kutuntun sepeda itu ke halaman, ku lap debu di badannya seadanya dan kunaiki sepeda itu dengan gembira.

Di perjalanan aku terkikik geli, membayangkan tatapan orang-orang: seorang gadis berpakaian funky, menaiki sepeda butut. Tapi sekali lagi aku menghibur diri, ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Sambil menikmati pemandangan dan udara pagi, aku terus menggenjot pedal sepeda, menyusuri jalanan yang membelah sawah. Tiba-tiba seekor kambing berlari melintas. Aku terkejut dan cepat-cepat meraih kedua rem di stang. Tapi Oo, sepeda tetap meluncur dan aku pun membanting stir hingga…Gubrak! aku dan sepeda terperosok ke selokan kering di sisi jalan. Aku bangkit sambil meringis. Untung tak ada yang terluka, hanya kotor tanah menghiasi pakaianku.

Sejenak kemudian, aku memeriksa sepeda. Ternyata, sepeda itu sudah tidak ada kawat remnya. Hanya tinggal gagangnya saja. Akhirnya, aku bangkit lagi, meneruskan perjalanan dengan lebih hati-hati. Meski tanpa rem.

*****

Kepada bapak dan ibu, sesampai di rumah, aku bertanya, mengapa sepeda jengki tua itu tidak dijual saja? Toh tidak ada yang menggunakannya di rumah saat aku sedang di Jakarta. Dua motor dan satu sepeda mini sudah cukup untuk anggota keluarga kami yang hanya tiga orang. Daripada makin rusak, karatan karena tidak pernah digunakan, hanya dionggokkan di pojok ruangan.

Tapi ibu bilang jangan. Sepeda itu memiliki sejarah yang panjang dan memiliki makna tersendiri.

“Sejarah yang manakah itu, Bu?,” tanyaku.

“Tidakkah kau ingat, anakku. Sepeda itu yang mengantarkanmu ke sekolah waktu SMP dulu? Juga sebagian dari waktu SMA-mu?”

Pelan-pelan, komentar ibu mengembalikan ingatanku tentang sepeda itu. Ya, sepeda jengki yang kinin nampak tua, catnya mengelupas di sana-sini. Asesorisnya pun sudah tidak ada. Tanpa rem, tanpa lampu, tanpa gembok, tanpa bel. .Hanya kerangkanya saja yang tinggal. Sepeda ini dulu bagus. Kata orang, asli RRT. Ah, benarkah ini sepedaku yang dulu mengantarku ke sekolah? Sepeda hadiah kelulusanku sebagai juara umum di SD, dan mengantarkanku jadi satu-satunya anak dari desaku yang bersekolah di SMP faworit di kota.

Segenap kenangan itu mengalir lagi. Dulu, jam setengah enam pagi, aku sudah mengayuh pedal sepeda itu, menembus kabut, menyusuri jalan-jalan desa menuju SMPku di kota. Terbayang kembali, saat-saat aku mengayuhnya, menempuh hujan dan badai di musim hujan, hanya bertutupkan mantel yang dibuat ibuku dari plastik lebar, hingga aku sering di ledek ‘kerupuk-kerupuk!’. Sepeda ini dulu yang menemaniku pulang sekolah, berlomba bersama teman-temanku. Sepeda ini pernah membuatku jatuh karena bergurau dengan teman di jalan. Sepeda ini juga yang mengantarku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, membelah petang saat sendirian pulang dalam gelap. Sepeda ini begitu akrab setiap inci bagiannya bagiku hingga aku bahkan dapat menyetirnya tanpa memegangi setang. Sepeda ini pernah kuabaikan sekian lama, saat demam sepeda federal mewabah, namun akhirnya dengan setia menemaniku lagi karena sepeda federal palsuku begitu cepat rusak.

Sepeda ini masih pula menemani masa-masa SMAku. Kenangan saat aku menempuh bulak (jalan panjang di antara hamparan sawah, jauh dari pemukiman) dengan lampu mati ternyata masih sangat nyata tersimpan di memori. Bagaimana ia mengantarku pulang dalam gelap, menghindari lobang-lobang besar di sepanjang perjalanan. Sepeda ini pula yang masih tetap menemaniku, saat kemudian aku memilih kos ketika SMA. Dia mengantarku ke pengajian, mengantarku bimbingan belajar dan mengantarku menjalani aktifitas ekstra kurikuler maupun kegiatan ekstra sekolah yang mulai kurambah. Dengannya aku menjelajah setiap sudut kota Solo jika aku sedang bosan, termasuk mengunjungi perpustakaan daerah yang jaraknya cukup jauh.

****

Kuperhatikan lagi, sepeda itu sudah sangat tua. Lebih dari 15 tahun usianya. Namun ternyata baktinya belum usai. Saat ini, selain kadang digunakan ibu untuk pergi ke sawah, sepeda itu sering dipinjam kaum kerabat yang kebetulan membutuhkan. Pada waktu-waktu tertentu juga digunakan oleh sepupu-sepupuku untuk pergi sekolah, seperti sepeda-sepeda saya lainnya.

Saya merasa belajar banyak dari sepeda jengki tua itu. Belasan tahun, mungkin sepanjang masa pakainya, si sepeda telah memberikan manfaat bagi tak terhitung orang. Si sepeda telah berbakti sepanjang hidupnya, tanpa keluh kesah, dan tanpa pernah mendapat pujian. Namun ia tetap menebar manfaat. Bagaimana dengan saya? Kita? Sepanjang usia yang telah saya lalui, adakah saya telah memberi manfaat bagi agama, keluarga dan masyarakat tanpa henti. Wallahu a’lam bishshawwab.

0 komentar:

Posting Komentar