Jumat, 12 April 2013

Sebatang Ilalang

Kututup telingaku rapat-rapat. Kutimbuni kepalaku dengan bantal dan selimut. Suara-suara itu masih saja terdengar. Merobek-robek dadaku, memukul-mukul dan mencekik nafasku. Ingin aku menjerit, berteriak dengan sekuat tenaga, namun tiada sepatah katapun yang keluar. Mulutku seakan terkunci, lidahku serasa beku dan mendadak aku seperti orang yang bisu.

“Bagaimana mungkin orang menggembar-gemborkan Alloh. Berteriak-teriak menyebut nama Alloh. Bising! Padahal dia tidak pernah melihat Alloh yang disembah-sembah itu! Lucu!”

“Seperti orang gila saja. Seumur hidupku tak pernah aku dengar orang bertemu dan berbicara dengan Alloh!”

“Ah, itu kan hanya bikinan orang-orang saja. Orang yang bikin tatanan tertentu dan ingin diakui eksistensinya. Tak lebih dari itu.”

“Ya, orang-orang bodoh yang menganggap dirinya pintar. Apa keistimewaannya? Apa kalau sudah bisa yasinan lantas bisa jadi kaya? Itu si Rodin tiap malam jum’at ikut yasinan, hutangnya tak pernah habis, bahkan semakin bertumpuk. Apa pula keistimewaan Qur’an dan Ka’bah itu? Itu sih tidak beda dengan novel atau monumen didepan pasar pon…!”

“Hi..hi..hi..”

“Tidak pernah pula kudengar orang yang dahinya gosong karena mencium sajadah, lantas didepannya tiba-tiba ada sebongkah emas. Hi..hi..hi..”

Astaghfirullah…! Astaghfirullah….! Suara ibu tiriku dan temennya itu benar-benar membuatku pusing dan gila. Tawanya seperti setan yang menusuk-nusuk ulu hatiku. Ya Alloh, apa yang harus kulakukan? Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa.

Sudah berpuluh-puluh kali aku mencoba meyakinkan ibu tiriku. Bahwa Alloh itu ada. Segala kuasa ada ditanganNya. Tapi hasilnya? Nol besar! Usahaku gagal total. Paling-paling malah aku yang ditertawakan, dihina dan diejek. Anak kecil mau mengajari orang tua! Lahir saja baru kemarin sore! Begitu selalu yang dikatakan.

Aku tahu, barangkali Alloh belum membuka pintu hatinya. Tapi sampai kapan? Sekarang ini saja rasanya saya sudah seperti gila bila mendengar ocehannya.

Setiap saat kalau ada waktu senggang, Bu Tati tetangga rumah selalu saja datang. Kalau sudah ngobrol berdua yang dbicarakan selalu saja masalah itu. Dan itu sudah pasti! Apapun yang dibicarakan, pada akhirnya mengarah kesitu juga. Meremehkan, menghina dan meniadakan keberadaan Alloh. Aku yang terlahir sebagai muslim sungguh merasakan sakit dan terhina. Bagaimana mungkin dia berbicara seperti itu. Sungguh terkutuk.

Tapi walau apapun yang terjadi, aku telah bertekad untuk berdiri diatas keyakinanku sendiri. Untunglah diwaktu kecil dulu, ketika ibu kandungku masih hidup, aku sempat mengecap pelajaran keagamaan khusus, disamping belajar disekolah. Pasti ibu menginginkan anak satu-satunya kelak menjadi wanita yang sholehah, serta muslimah yang taat. Dan aku yakin, pendidikan dimasa kecilku itulah yang membuatku tegar memegang keyakinanku walau diombang-ambingkan ibu tiriku dirumah ini.

Namun betapa sakitnya hatiku, ketika ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku untuk memakai jilbab. Aku masih ingat, saat itu aku mengusulkan untuk memakai jilbab dan mengikuti les untuk lebih memperdalam Al-Quran. Apa kata ibu tiriku?

“Apa kau pikir dengan berjilbab semuanya menjadi beres? Lakukan saja kalau kau memang sudah sanggup membiayai sekolahmu sendiri.”

Aku tak mampu membantah. Tapi kalau dipikir, apa sebenarnya salahku? Aku hanya ingin menutup auratku, sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam. Tapi rupanya mereka tak pernah mau mengerti. Dipaksakan kehendaknya terhadapku. Bila dengan cara halus tak mampu, maka dengan kekerasan hingga aku tunduk. Tapi aku selalu mencoba untuk tegar menghadapinya.

Ditengah-tengah kebencian, kemarahan , kekecewaan serta tertekannya perasaanku dirumah ini, aku merasa seperti sebatang kara didunia ini. Sering aku membayangkan, bahwa hidupku tak ubah sebatang ilalang yang tumbuh ditengah-tengah batu padas.

Aku ini hanya sebatang ilalang yang tumbuh dengan sendirinya. Tak pernah tersiram oleh air, tak pernah dipupuk atau disentuh oleh tangan manusia. Dalam kesendiriannya dia harus mempertahankan hidup ditengah kekeringan dan ketandusan.

“Hi..hi..hi…”tawa kedua manusia itu kembali mengusikku.

Ya Alloh, Naudzubillahimindzalik!!! Kalau saja aku mampu, ingin aku membunuhnya. Orang-orang semacam itu sangat membahayakan. Dia bisa mempengaruhi orang-orang yang ada disekitarnya.

Mula-mula keluarga, tetangga lalu masyarakat luas. Kalau sudah begitu, apa jadinya negara Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa ini? Aku yakin, di Indonesia ini masih banyak manusia-manusia sejenis dengan ibu tiriku . Nonsen! Jika dikatakan semua orang di Indonesia ini hati dan jiwanya telah benar-benar mengakui adanya Tuhan. Pasti masih ada segelintir orang yang mencoba untuk mengingkarinya. Dan banyak kulihat buktinya.

“Tari….buatkan Bu Tati kopi. Kamu belum tidur kan?” suara ibu tiriku membuatku terkejut.

Aku masih terdiam. Kulempar bantal yang kupegangi sedari tadi ke pojok ranjang dan kuusap wajahku yang kusut dengan kedua tangan. Lalu dengan berat kulangkahkan kakiku ke dapur. Anganku masih melayang-layang. Apalagi setelah melihat dua sosok manusia yang berbincang dengan asyiknya diruang tengah. Darahku terasa mendidih. Tawanya yang cekikikan seperti setan. Ocehannya yang tak karuan, terus membayang dianganku.

Duk! Glontang…! Aku tersentak dari lamunan. Rupanya kakiku menyandung sesuatu. Kulongokkan kepalaku kebawah meja dapur itu. Sekaleng baygon tergeletak dikaki meja. Kuambil benda itu dan kukencangkan tutupnya.

Tiba-tiba terlintas pikiran buruk dibenakku. Kutimang-timang sekaleng baygon itu ditanganku. Aku akan melakukan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu !

Segera kuambil dua gelas. Kutuangkan kopi serta gula kedalamnya. Tinggal air, dan….Ah, benarkah aku akan membunuhnya? Membunuh? Benar-benar sudah mampukah aku? Bukankah membunuh itu suatu dosa besar yang dilarang oleh Islam? Apakah tidak ada cara lain selain membunuh mereka?

Tidak! Aku harus membunuhnya malam ini juga. Harus! Orang semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup. Ia akan menjadi racun yang amat ganas. Bunuh! Tidak! Bunuh! Tidak! Bunuh! Tidak! Kedua suara hatiku saling berebut untuk menguasai tindakanku selanjutnya.

Tiba-tiba tanpa kusadari, aku telah menuang baygon itu sebanyak dua sendok-dua sendok kedalam kedua gelas. Kemudian kuberi air panas dan kuaduk. Keringat dingin mengalir saat aku mengambil tatakan yang ada di buffet ruang tengah. Tidak! Aku harus sanggup membunuhnya. Orang itu akan mati sekali saja meneguk kopi yang kuhidangkan.

Grobyak! Cring…cring….suara dari dapur membuatku terkejut. Dengan sedikit cemas, perlahan-lahan kulangkahkan kakiku kedapur. Baru saja tiga langkah, tiba-tiba…cring…suara gelas pecah itu kembali terdengar. Kini langkahku terhenti, apa ada seseorang yang mengetahui perbuatanku? Tapi, benarkah? Tidak! Apapun yang terjadi aku akan hadapi.

Dengan ragu, kuteruskan langkahku yang tinggal sekitar tiga meter kedapur. Mula-mula dengan gemetar kuintip didalam dapur. Tidak ada orang. Gelasnya juga tidak ada diatas meja. Setelah yakin tak ada orang, kuberanikan diri memasuki dapur. Dan….Ya ampun! Aku melotot melihat apa yang terjadi.

Gelas beserta isinya itu telah jatuh berserakan didekat kaki meja. Seekor kucing mengendus-endus pecahan gelas-gelas itu. Aku terdiam sesaat. Tanganku mengelus kucing yang malang itu. Melihat kehadiranku, kucing itu melompat meninggalkan aku , lalu menghilang entah kemana.

Astaghfirullah….! Astaghfirullah…! Kuusap mukaku dengan kedua tangan. Berulangkali kubaca istighfar. Tiba-tiba badanku lemas, aku seperti terbangun dari mimpi buruk. Ya alloh, apa yang sebenarnya terjadi? Kau kirimkan kucing itu untuk menyadarkanku. Terimakasih ya Alloh…

Tiba-tiba air mataku menitik. Anganku melayang pada ibu yang telah tiada. Ya Alloh, aku pasrah pada kebesaranMu. Apapun yang dilakukan ibu tiriku, Engkaulah yang berhak menghukumnya. Aku sadar, aku hanya manusia biasa sebagaimana ibu tiriku, yang tak berhak menghukum sesamanya. Kalau masih mungkin, bukakan pintu hatinya yang telah berkarat itu, tapi kalau tidak, hukumlah dia setimpal dengan perbuatannya.

Aku yakin, hanya engkau yang maha tahu apa yang terjadi pada setiap makhlukMu. Kuserahkan segalanya pada kebesaranMu, ya Alloh. Dan biarkanlah sebatang ilalang ini tetap tumbuh dengan sendirinya dibawah bimbinganMu.

Perlahan aku berdiri. Kubuat dua gelas kopi manis dan kuhidangkan untuk ibu tiriku dan temannya. Setelah membersihkan lantai dan membuang pecahan gelas, aku bergegas ke sumur.

Di luar rembulan bersinar terang. Kutengadahkan wajahku menatap kebesaranNya. Angin malam berhembus pelan ketika kubasuh wajahku dengan air wudlu. Segar. Aku harus segera bersujud, aku belum sholat isya’.

--ooo—

»»  Baca Lebih Lanjut...

Lonceng Gereja Di Antara Gema Adzan

'Tahu nggak? Kerusuhan di Ambon kembali marak!' tulis email yang saya terima hari itu. Hati ini kembali sedih. Konflik yang satu belum selesai, sudah disusul oleh lainnya. Tugas yang satu belum rampung digarap, persoalan lain menuntut penanggulangannya.

Kini, persoalan nyawa manusia-manusia yang tidak berdosa sepertinya menjadi bahan mainan. Rakyat kecil hampir selalu begitu nasibnya. Identik dengan penderitaan. Ambon, yang konon terkenal sebagai Ambon Manise, sekarang melegenda menjadi 'Ambon Bahaye!'.

Berbagai macam teori dipaparkan untuk menganalisa apa yang melatar-belakangi segala bentuk bentrokan yang tak kunjung usai ini. Ada yang bilang, peperangan itu terjadi atas nama mereka yang ingin memisahkan diri dari kedaulatan Republik Indonesia (RI). Ada pula yang mengatakan peristiwanya didukung oleh kelompok Republik Maluku Selatan yang pentolannya bermarkas di Belanda. Ada juga yang mengemukakan bahwa perang tersebut dalam upaya melenyapkan Umat Islam yang konon, adalah 'pendatang' disana. Tiga teori sudah! Mana yang tepat? Wallahu'alam!

Reaksinya pun bermacam-macam. Ada yang langsung menyalahkan pihak A sebagai provokator. Mereka yang pro Negara Kesatuan RI menyalahkan pihak B terlalu lemah dalam menangani perayaan peringatan RMS. Pihak Kristen menuduh ada upaya-upaya pihak C melakukan genocide di Maluku. Ada sebagian pula yang mengatakan ada pihak D yang sengaja membakar semangat kedua pihak (Kelompok Merah dan Kelompok Putih) agar perang lagi. Empat kemungkinan penyebab sudah! Mana yang benar? Wallahu'alam!

Perangpun belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bukan saja gedung-gedung, rumah, perabotan, jalan-jalan serta segala harta benda dan fasilitas umum lainnya telah rusak dibuatnya. Korban bergelimpangan layaknya ikan-ikan laut yang biasa berjajar di pantai indah Ambon. Hanya dalam hitungan detik, ratusan manusia-manusia Ambon, ditengah teriakan histeris dan jeritan beringas, ada yang sekarat, ratusan yang mengalami luka-luka, hingga meninggal sia-sia. Persis keadaannya seperti ribuan ikan yang setiap harinya dijaring oleh para nelayan-nelayan Ambon. Ketika ikan-ikan sudah dikumpulkan di tepi pantai, kondisinya tidak lebih dari saudara-saudara kita yang sedang menghadapi konflik sekarang ini. Bedanya, ikan-ikan tadi tidak ada satupun yang dikirim ke rumah sakit, mendapatkan pengobatan, injeksi, infus, apalagi sampai dijahit lukanya segala.

Ambon, apa yang kau cari?

Adalah Sidiq, salah seorang rekan, suatu hari di akhir pekan datang berkunjung ke apartemen kami. Bersama dia, seorang lelaki kurus, kecil, masih muda. "Jason!" katanya datar ketika saya berjabatan tangan dengannya. Dari namanya sudah bisa ditebak. Bukan orang Islam.

Kebetulan hari Jum'at waktu itu. Sekedar diketahui, Jum'at di negara-negara Arab sama dengan Ahad di Indonesia. Hari libur. Kaum Kristiani menyesuaikan waktu kebaktiannya dengan hari libur disana. Jadi jangan pernah menyangka bahwa Minggu (Baca: Ahad) adalah hari berdoa mereka. Di Arab, hari Jum'at kaum Kristiani ke gereja. Jadi wajar saja jika pada hari Jum'at kita menanyakan kepada mereka apakah ke gereja atau tidak. Pertanyaan yang sama saya kemukakan kepadanya "You went to church this morning Jason?" kataku sambil lalu, ketimbang tidak ada pembicaraan sama sekali. Toh dia adalah tamuku. Apa salahnya? "Yesss...!!" bukannya Jason yang menjawab, namun Sidiq. Si Jason hanya tersenyum. "Aku yang membangunkannya tadi pagi!" jelas Sidiq.

Sidiq dan Jason bekerja di satu instansi, Jason sebagai teknisi komputer dan Sidiq sebagai seorang akuntan. Mereka juga kos di satu apartemen. Sidiq yang Muslim dan Jason seorang Kristen. Namun keduanya akrab.

Ketika Imam masjid sebelah gedung kami mengumandangkan Iqamah, saya bilang sama si Jason: "Jason, we are going to masjid!" diteruskan oleh Sidiq, "Not long. Only ten minutes. You stay here please!" ada nada saling menghargai. Tanpa menyepelekan dia sebagai seorang penganut agama lain, namun juga tidak mengorbankan keyakinan hanya karena persoalan teman. Bila sholat tiba, pisah!

Sidiq bukan satu-satunya kenalan saya yang berteman dengan seorang Kristen dengan jalinan yang baik. 'Habluminannas...' hubungan baik sesama manusia. Zahoor dengan Ivan, Hassan dengan Oswold, Ida dengan Gerarda. Dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud membanggakan diri mereka sebagai Muslim yang baik, mereka bukan Islam KTP atau abangan. Jadi, melihat apa yang terjadi di Ambon, sungguh membuat hati ini perih.

Bagaimana tidak perih, jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memutarbalikkan fakta. Sejarah Islam di Tanah Air Indonesia membuktikan bahwa kaum Muslimin tidak memiliki sejarah dimana harus memaksakan kehendak terhadap kaum minoritas. Justru sejarah telah menunjukkan karena kebesaran jiwa kaum Muslimin Indonesia lah kaum minoritas di negeri ini menjadi terlindungi. Contoh yang paling konkrit adalah bagaimana orang Islam berkorban untuk menerima UUD 1945, bukannya Piagam Jakarta. Sebuah pengorbanan yang tidak kecil! Kamu minoritas pun bersorak. Tanda 'kemenangan'?

Saya jadi ingat akan sikap Rasulullah Muhammad SAW terhadap kaum kafir Quraysh dalam Perjanjian Hudaibiyah. Dalam buku yang berjudul 'Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW' karya HMH Al Hamid Al Hussaini (1997), ketika perjanjian itu hendak dituangkan dalam bentuk tertulis Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib r.a. supaya menulis kalimat 'Bismillahir Rahmannir Rahim'. Mendengar penuturan tersebut, Suhail bin Amr, wakil musyrikin Quraysh, cepat-cepat menukas 'Demi Allah, kami (kaum musyrikin Quraysh) tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan Ar Rahman. Tuliskan saja "Bismika Allahumma (Dengan namaMu ya Allah)". Kaum Muslimin yang mendengar usulan tersebut serentak mengatakan "Tidak!" Namun apa kata Rasulullah SAW: "Tuliskan Bismika Allahumma". Kemudian beliau SAW melanjutkan lagi "Kemudian tuliskan: inilah yang telah diputuskan dan disetujui oleh Muhammad Rasulullah!"

Demikian pula ketika persoalan kata Rasulullah muncul, Suhail kembali keberatan karena orang kafir Quraysh tidak dapat menerima Muhammad sebagai Rasulullah, kecuali Muhammad Bin Abdullah. Rasulullah pun pada akhirnya tidak keberatan. Hingga suatu saat Umar bin Khatab r.a. sempat bertanya: "Ya Rasulullah adakah ini suatu kemenangan?" "Ya!" jawab Rasulullah SAW. Identik dengan Piagam Jakarta dan UUD 1945?

Begitulah. Umat Islam seringkali dihadapkan pada masalah-masalah dimana harus mengambil posisi yang rumit sekali. Seperti halnya yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, semoga pemimpin-pemimpin bangsa kita pada tanggal 18 Agustus 1945 dulu diilhami oleg suri tauladan Rasulullah SAW. Berkorban demi kemenangan!

Kisah Perjanjian Hudaibiyah ini memegang peranan yang penting sekali dalam sejarah strategi kaum Muslimin. Jumlah mereka yang waktu itu tidak melebihi 1500 orang (manurut Riwayat Jabir r.a), dua tahun kemudian, ketika beliau berangkat ke Mekkah untuk merebut kota itu secara damai, jumlah kaum Muslimin sudah mencapai 10.000 orang. Dibawah Pemerintahan Islam, Mekkah dan Madinah mencapai puncak demokrasinya. Kaum minoritas waktu itu bahkan turut menikmati kejayaan Islam, tanpa harus menjadi Muslim. Rasulullah SAW malah menganjurkan kaum kafir ini tetap dilindungi.

Apa yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, alhamdulillah tetap dijadikan suatu percontohan. Hingga saat ini, dimana Islam menjadi mayoritas, kaum minoritas bisa hidup dengan aman dan tenteram di banyak negeri. Tentu saja ada perkecualian dimana konflik eksis, kriminalitas ada dimana-mana. Tapi seberapa besar prosentasinya? Kaum Muslimin, tidak akan 'menggigit' jika tidak diganggu.

Negara tetangga kita, Malaysia misalnya, dalam naungan Islam, orang diluar Islam baik itu Hindu, Budha maupun Kristen, bisa menikmati kemajuan dan perkembangan negara tersebut yang sudah tentu amat menguntungkan posisi mereka. Di negara-negara Arab, bukankah sudah cukup bukti bahwa dengan penerapan hukum Islam angka kriminalitas terbukti paling sedikit di dunia. Jika sekiranya tinggal di negara-negara Arab ternyata tidak aman, kenapa prosentase ekspatriat misalnya di Kuwait, atau UAE justru lebih besar dibanding penduduk mereka sendiri. Dan jangan pernah mengira bahwa para pendatang ini orang Islam semuanya. Tidak sedikit yang Hindu, Kristen, Budha hingga Kong Hu Chu!

Suatu hari datang email lagi dari orang yang tidak saya kenal menyatakan bahwa di Saudi Arabia penuh pelanggaran hak-hak azazi manusia, para pembantu (PRT) (maaf) diperkosa, tidak dibayar, disiksa, dsb. Saya tidak menutup mata bahwa kejadian tersebut ada. Jangankan di Saudi, di negara kita saja pelecehan yang serupa juga acapkali terjadi. Hanya saja, kalau kita tahu jalur hukum, orang Saudi juga tidak bisa berbuat sesuka mereka. Dalam pandangan hukum disana, semua orang sama kedudukannya. Setiap hari Jumat misalnya ada saja orang yang dihukum penggal kepala atau rajam, tanpa melihat apakah mereka penduduk Saudi asli atau tidak, Muslim atau Kristen, semuanya sama!

Melihat sebuah gereja yang terletak tidak jauh dari kediaman saya, jadi teringat akan peristiwa Ambon. "Ada apa dengan Indonesia? Perang Islam-Kristen ya?" pertanyaan serupa mengalir begitu saja dari mulut-mulut yang saya kenal. Saya bersyukur nama baik kaum Muslimin di Indonesia tidak seburuk yang disangka orang-orang RMS. Dunia tahu dalam sejarah perkembangan Islam di negeri ini tidak ada campur tangan kekerasan. Jadi email seseorang yang tidak saya kenal yang mengemukakan bahwa ada proses Islamisasi di Maluku dan Timor Timur tidak berdasar.

Dalam bukunya 'The Spread of Islam in the World: A History of Islamic Peaceful Preaching', Professor Thomas Arnold (2001), menyebutkan bahwa sejak permulaannya Islam masuk bumi Nusantara, waktu itu masih dibawah naungan Kerajaan Majapahit, Raja dan Ratu Champa, meskipun mereka tidak memeluk Islam, namun menerima kedatangan seorang keturunan Arab, Sheikh Maulana Jumada Al Kubra, yang memperkenalkan misi Islam kepada masyarakat pagan di wilayah Ampel-Gresik (Jatim). Bahkan beliau mendapatkan ijin dari Raja Majapahit, hingga waktu itu mencapai 3000 keluarga yang masuk Islam. Dari sinilah kemudian Islam berkembang secara luas di bumi ini. Tanpa paksaan, tanpa kekerasan. Demikian kata profesor asal Inggris yang pernah mengajar di Aligarh (India, 1896) dan Lahor-Pakistan itu.

Kembali saya melihat gereja tadi. Terletak di pinggir jalan, tepatnya berhadap-hadapan dengan sebuah masjid di lungkungan Sudanese Club. Orang-orang Kristen disana tidak pernah terganggu ibadahnya. Hari Natal misalnya, meski secara nasional Natal dan Paskah tidak diakui oleh Pemerintah negara-negara Arab, biasanya perusahaan mereka memberikan ijin untuk kerja misalnya hanya sampai jam 9 pagi saja. Tidak sedikit yang diberikan libur. Orang-orang Kristen diberikan hak-hak dan kedudukan yang sama dengan kaum Muslimin, bahkan kalau sudah persoalan Natal dan Paskah itu, mereka dilebihkan kan? Selama bulan Puasa Ramadan mereka hanya kerja 5 jam, dan libur panjang pada hari Idul Fitri dan Idul Adha sebagaimana orang-orang Islam.

Dengan demikian, mana negara di dunia yang memberlakukan masyarakatnya sebagaimana negara-negara Arab memperlakukan orang-orang non-Muslim? Adakah orang-orang Islam di dunia yang mendapatkan perlakukan se-fairsebagaimana orang-orang Kristen diperlakukan di negara-negara Islam? Dentingan lonceng gereja mungkin saja memang tidak terdengar di negeri Arab. Namun kaum Kristiani bebas beribadah ditengah-tengah gaung Adzan dimana-mana, dengan tanpa merasa khawatir diganggu.

Ambon...

Luasmu tidak seberapa seberapa dibandingkan dengan Indonesia secara keseluruhan. Tapi umat Islam yang ada di daerahmu tidak henti-hentinya menghadapi cobaan yang amat besar. Namun percayalah, bahwa Islam bisa selalu tumbuh dan besar karena berbagai cobaan. Dan itu terjadi tidak hanya di bumi Ambon saja, malah sejak jaman Rasulullah SAW. 'Telah Kami limpahkan kepadamu (hai Muhammad) suatu kemenangan nyata; Allah mengampuni kekeliruanmu yang telah lalu dan yang akan datang, dan Allah akan mencukupkan karuniahNya kepadamu serta membimbingmu ke jalan yang lurus, dan hendak menolongmu dengan pertolongan sekuat-kuatnya' (QS Al-Fath: 1-3).

»»  Baca Lebih Lanjut...

Bakti Sepeda Jengki

Hari masih pagi. Matahari hangat menyentuh kulit, sinarnya menyusup di setiap celah, memberikan warna-warni indah. Aku sudah rapi, mengenakan setelan rok dan blus denim favoritku, berkerudung ceria bunga-bunga plus sepatu andalanku. Aku bermaksud mengunjungi para pakde dan eyang di kampung sebelah.

Namun niat silaturahmiku terganjal. Aku tidak kebagian alat transportasi. Dua motor dan satu sepeda mini telah beranjak dari garasinya. Yang tersisa hanya sebuah sepeda jengki jelek. Teronggok pasrah di pojok ruangan. Waduh, bagaimana ini? Ya sudahlah, yang penting niat silaturahmi terpenuhi. Maka kutuntun sepeda itu ke halaman, ku lap debu di badannya seadanya dan kunaiki sepeda itu dengan gembira.

Di perjalanan aku terkikik geli, membayangkan tatapan orang-orang: seorang gadis berpakaian funky, menaiki sepeda butut. Tapi sekali lagi aku menghibur diri, ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Sambil menikmati pemandangan dan udara pagi, aku terus menggenjot pedal sepeda, menyusuri jalanan yang membelah sawah. Tiba-tiba seekor kambing berlari melintas. Aku terkejut dan cepat-cepat meraih kedua rem di stang. Tapi Oo, sepeda tetap meluncur dan aku pun membanting stir hingga…Gubrak! aku dan sepeda terperosok ke selokan kering di sisi jalan. Aku bangkit sambil meringis. Untung tak ada yang terluka, hanya kotor tanah menghiasi pakaianku.

Sejenak kemudian, aku memeriksa sepeda. Ternyata, sepeda itu sudah tidak ada kawat remnya. Hanya tinggal gagangnya saja. Akhirnya, aku bangkit lagi, meneruskan perjalanan dengan lebih hati-hati. Meski tanpa rem.

*****

Kepada bapak dan ibu, sesampai di rumah, aku bertanya, mengapa sepeda jengki tua itu tidak dijual saja? Toh tidak ada yang menggunakannya di rumah saat aku sedang di Jakarta. Dua motor dan satu sepeda mini sudah cukup untuk anggota keluarga kami yang hanya tiga orang. Daripada makin rusak, karatan karena tidak pernah digunakan, hanya dionggokkan di pojok ruangan.

Tapi ibu bilang jangan. Sepeda itu memiliki sejarah yang panjang dan memiliki makna tersendiri.

“Sejarah yang manakah itu, Bu?,” tanyaku.

“Tidakkah kau ingat, anakku. Sepeda itu yang mengantarkanmu ke sekolah waktu SMP dulu? Juga sebagian dari waktu SMA-mu?”

Pelan-pelan, komentar ibu mengembalikan ingatanku tentang sepeda itu. Ya, sepeda jengki yang kinin nampak tua, catnya mengelupas di sana-sini. Asesorisnya pun sudah tidak ada. Tanpa rem, tanpa lampu, tanpa gembok, tanpa bel. .Hanya kerangkanya saja yang tinggal. Sepeda ini dulu bagus. Kata orang, asli RRT. Ah, benarkah ini sepedaku yang dulu mengantarku ke sekolah? Sepeda hadiah kelulusanku sebagai juara umum di SD, dan mengantarkanku jadi satu-satunya anak dari desaku yang bersekolah di SMP faworit di kota.

Segenap kenangan itu mengalir lagi. Dulu, jam setengah enam pagi, aku sudah mengayuh pedal sepeda itu, menembus kabut, menyusuri jalan-jalan desa menuju SMPku di kota. Terbayang kembali, saat-saat aku mengayuhnya, menempuh hujan dan badai di musim hujan, hanya bertutupkan mantel yang dibuat ibuku dari plastik lebar, hingga aku sering di ledek ‘kerupuk-kerupuk!’. Sepeda ini dulu yang menemaniku pulang sekolah, berlomba bersama teman-temanku. Sepeda ini pernah membuatku jatuh karena bergurau dengan teman di jalan. Sepeda ini juga yang mengantarku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, membelah petang saat sendirian pulang dalam gelap. Sepeda ini begitu akrab setiap inci bagiannya bagiku hingga aku bahkan dapat menyetirnya tanpa memegangi setang. Sepeda ini pernah kuabaikan sekian lama, saat demam sepeda federal mewabah, namun akhirnya dengan setia menemaniku lagi karena sepeda federal palsuku begitu cepat rusak.

Sepeda ini masih pula menemani masa-masa SMAku. Kenangan saat aku menempuh bulak (jalan panjang di antara hamparan sawah, jauh dari pemukiman) dengan lampu mati ternyata masih sangat nyata tersimpan di memori. Bagaimana ia mengantarku pulang dalam gelap, menghindari lobang-lobang besar di sepanjang perjalanan. Sepeda ini pula yang masih tetap menemaniku, saat kemudian aku memilih kos ketika SMA. Dia mengantarku ke pengajian, mengantarku bimbingan belajar dan mengantarku menjalani aktifitas ekstra kurikuler maupun kegiatan ekstra sekolah yang mulai kurambah. Dengannya aku menjelajah setiap sudut kota Solo jika aku sedang bosan, termasuk mengunjungi perpustakaan daerah yang jaraknya cukup jauh.

****

Kuperhatikan lagi, sepeda itu sudah sangat tua. Lebih dari 15 tahun usianya. Namun ternyata baktinya belum usai. Saat ini, selain kadang digunakan ibu untuk pergi ke sawah, sepeda itu sering dipinjam kaum kerabat yang kebetulan membutuhkan. Pada waktu-waktu tertentu juga digunakan oleh sepupu-sepupuku untuk pergi sekolah, seperti sepeda-sepeda saya lainnya.

Saya merasa belajar banyak dari sepeda jengki tua itu. Belasan tahun, mungkin sepanjang masa pakainya, si sepeda telah memberikan manfaat bagi tak terhitung orang. Si sepeda telah berbakti sepanjang hidupnya, tanpa keluh kesah, dan tanpa pernah mendapat pujian. Namun ia tetap menebar manfaat. Bagaimana dengan saya? Kita? Sepanjang usia yang telah saya lalui, adakah saya telah memberi manfaat bagi agama, keluarga dan masyarakat tanpa henti. Wallahu a’lam bishshawwab.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Duapuluh Satu Kali

“Dua puluh satu kali, Mbak?” mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun, Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut.

“Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu, tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan luka apalagi derita.

“Mbak… ehmm, maaf, tidak patah arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih. Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak trauma dengan masalah itu.

“Kalau sedih, kecewa, terluka… pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga.
Nyaris putus asa juga pernah. Namun alhamdulillah tidak berlarut-larut.”

Mata itu berbinar-binar, seakan turut bicara.

“Justru, kini saya merasa lebih dewasa, lebih matang dengan semua kegagalan itu. Banyak sekali pelajaran yang bsia diambil dari tiap kegagalan itu. Saya menjadi lebih bisa mengerti berbagai karakter manusia. Saya dapat lebih menghayati realitas dan kuasa Allah atas hidup kita. Dan pasti jadi lebih banyak pengalaman… setidaknya pengalaman proses menuju nikah hingga 21 kali..hahaha,” dia tertawa lepas. Renyah. Manis sekali.

Perempuan itu, kini sudah 30 tahun lewat usianya. Sebuah usia yang tak lagi remaja memang. Sebuah usia yang sangat wajar dan pantas jika ia resah karena jodoh tak kunjung tiba. Namun ia tak nampak panik atau gelisah. Bisa jadi ia memang pandai menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Namun saya lebih percaya ketenangannya tumbuh karena kematangan dan keimanan.

Gadis ini dapat dikatakan sederhana. Dengan penampilan sederhana pula. Aktifitasnya pun bersahaja walaupun dulunya dia termasuk aktifis tingkat tinggi. Sehari-hari ia bekerja sebagai staf pengajar di sebuah lembaga pendidikan. Aktifitasnya yang lain adalah mengajar TPA, mengikuti pengajian rutin maupun berbagai pengajian umum yang banyak diselenggarakan oleh berbagai lembaga di berbagai lokasi di Jakarta.

Selebihnya ia lebih banyak di rumah. Membaca buku dan membantu mengurus pekerjaan rumah tangga karena Ibunya tidak memiliki pembantu. “Proses pertama saya jalani ketika saya baru menyelesaikan kuliah saya. 22 tahun usia saya ketika itu. Waktu itu tentu saja saya tidak sebersahaja sekarang.” Dia mulai bercerita. Saya menunggu.

"Saya masih ingat sekali. Waktu itu saya mengajukan berbagai kriteria. Saya ingin calon suami yang sarjana, pekerjaan mapan, aktifis dakwah atau minimal memiliki pemahaman agama yang bagus, dari keluarga baik-baik, dan sama-sama orang jawa seperti saya. Sebuah kriteria yang saya rasakan konyol sekarang, namun dulu saya pikir itu wajar. Muslimah mana yang tidak memiliki idealisme seperti itu?"

Ia melanjutkan ceritanya...

"Ada beberapa orang yang ditawarkan oleh guru ngaji maupun oleh orang tua. Ada juga yang datang sendiri. Tetapi semua saya tolak. Saya pikir waktu itu saya masih muda. Saya isa mengisi maa muda saya dengan berbagai aktifitas positif sambil terus menunggu seseorang yang mendekati kriteria yang saya inginkan. Maka saya pun mulai memperbanyak aktifitas. Mengambil banyak kursus, mengikuti bebagai pelatihan dan aktif di beberapa komunitas sosial kemasyarakatan."

"Usia saya menjelang 25 tahun ketika saya menemukan seseorang dengan kriteria seperti yang saya inginkan. Awalnya proses kami lancar-lancar saja. Orang tuanya bahkan sudah datang mengkhitbah ke rumah. Bahkan kita sudah akan menentukan tanggal pernikahan. Tapi oleh alasan yang sepele, tiba-tiba orang tuanya membatalkan khitbah. Sungguh saya shock waktu itu. Saya tak habis mengerti, apa yang salah dengan saya, dengan dia dan dengan proses kami?"

"Cukup lama saya tenggelam dalam kesedihan. Beberapa waktu kemudian sebenarnya banyak lagi yang mengajukan tawaran. Tapi saya selalu membandingkan dengan mantan calon suami saya. Saya menggunakan parameter dia untuk menilai setiap orang yang datang pada saya. Meskipun saya tidak pernah menolak lagi orang-orang yang datang kemudian itu, tapi entah mengapa proses selalu berakhir dengan kegagalan. Saya tak lagi menghitung, itu sudah yang keberapa kali. Akhirnya saya kembali menenggelamkan diri dalam aktifitas sosial dan organisasi. Saya aktif di partai. Dan saya sempat tak lagi memedulikan masalah menikah."

"Usia saya sudah lewat dua puluh tujuh. Justru orang-orang lain yang mulai ribut. Orang tua terutama. Kemudian kaum kerabat. Juga teman-teman saya. Merekalah yang kemudian menawarkan dan mencomblangi. Saat itu saya mulai belajar dari pengalaman. Saya tak lagi terlalu idealis. Saya menyerahkan saja kepada para perantara saya itu. Saat mereka meminta biodata, maka saya berikan biodata saya. Saya netral saja. Kalau diterima ya syukur, tidak diterima ya sudah. Dan ternyata nyaris semua tidak diterima. Alasannya macam-macam. Kebanyakan bahkan saya tak sampai ketemu mereka, sudah ditolak duluan. Saya sudah tak menghitung lagi berapa banyak biodata yang saya buat. Rata-rata tidak kembali."

"Usia saya sudah lewat dua puluh delapan tahun saat saya menyadari bahwa saya harus mulai proaktif. Saya tak lagi menyerahkan begitu saja pada nasib atau teman-teman. Saya harus mulai mencari sendiri juga. Tentu saja tetap dengan cara-cara yang ahsan."

"Pada usia ke-29 saya menemukan seseorang lagi. Dia sholeh. Sederhana. Jauh dari kriteria ideal saya, tapi saya merasa tenteram dengan menerimanya. Proses kami pun sederhana. Semuanya lancar. Tapi…Allah berkehendak lain. Calon saya meninggal dalam sebuah kecelakaan."

Sampai disini si Mbak menghentikan ceritanya sejenak. Mengambil napas panjang dan menyusut sudut mata. Aku turut terenyuh mendengarnya. Saat itu baru kulihat kabut selintas menghiasi wajahnya.

"...Semua sudah berlalu sekarang. Sudah nyaris dua tahun lalu. Saya mencoba bangkit lagi. Setahun terakhir, lima proses saya jalani. Menambah 16 proses sebelumnya yang tak semuanya saya ingat lagi. Lima proses itu saya jalani dengan lebih pasrah. Lebih lapang dada. Saya menghargai mereka masing-masing. Saya tidak membanding-bandingkan. Saya tak lagi menggebu, tak lagi sangat idealis…. tapi juga tak membuat saya membabi buta, menerima siapa saja seperti membeli kucing dalam karung."

"Satu orang gagal sebelum biodata saya sampai kepadanya. Dia sudah lebih dulu menerima orang lain. Orang kedua, pemuda yang biasa-biasa saja, tak mau menerima syarat saya untuk belajar ngaji pada teman saya sesama laki-laki. Dia memaksa belajar pada saya dan mendesak agar saya jadi pacarnya dulu. Orang ketiga, menolak karena orang tuanya tidak mau menerima orang yang tidak sesuku dan dia ingin menuruti kehendak orang tuanya. Orang keempat, teman saya sendiri, mengatakan kalau dia belum siap meski tidak menolak. Orang kelima berubah pikiran di tengah proses. Tadinya dia tidak mempermasalahkan usia saya yang lebih tua, tetapi kemudian dia mengatakan kepada perantara saya ingin mencari yang usianya lebih muda."

"Pengalaman-pengalaman yang saya jalani selama ini telah memberi banyak sekali pelajaran dalam hidup saya. Satu, bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.
Dua, bahwa pengalaman adalah benar-benar guru yang sangat berharga. Tiga, bahwa setiap orang benar-benar memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mereka semua layak untuk mendapat penghargaan sebagai seorang manusia. Empat, jika saya tak dapat memperoleh apa yang saya cintai, maka lebih baik saya mencintai apa yang saya telah saya peroleh dan memiliki. Lima, dan banyak lagi. Intinya, jika memang bukan jodoh, bahkan hal-hal kecil pun dapat menjadi penghalang dan penyebab gagalnya perjodohan."

"Kini saya merasa lebih pasrah dan arif menyikapi hidup. Tak ada yang salah, tak ada yang ribet. Hanya waktu yang belum tiba pada masanya. Hanya puzzle yang belum menemukan pasangannya. Semua masih biasa saja."

Si Mbak mengakhiri ceritanya. Tersenyum tulus kepadaku. Aku menyambutnya. Dan kami tenggelam dalam dekap haru. Pelukan persaudaraan.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kisah Bumi dan Langit

    Adapun terjadinya peristiwa Israk dan Mikraj adalah kerana bumi merasa bangga dengan
langit. Berkata dia kepada langit, "Hai langit, aku lebih baik dari kamu kerana Allah S.W.T.
telah menghiaskan aku dengan berbagai-bagai negara, beberapa laut, sungai-sungai, tanam-anaman,
beberapa gunung dan lain-lain."

    Berkata langit, "Hai bumi, aku juga lebih elok dari kamu kerana matahari, bulan, bintang-
bintang, beberapa falah, buruj, 'arasy, kursi dan syurga ada padaku."
Berkata bumi, "Hai langit, ditempatku ada rumah yang dikunjungi dan untuk bertawaf para nabi, para
utusan dan arwah para wali dan solihin (orang-orang yang baik)."

    Bumi berkata lagi, "Hai langit, sesungguhnya pemimpin para nabi dan utusan bahkan sebagai    
penutup para nabi dan kekasih Allah seru sekalian alam, seutama-utamanya segala yang wujud serta
kepadanya penghormatan yang paling sempurna itu tinggal di tempatku. Dan dia menjalankan syari'atnya
juga di tempatku."

    Langit tidak dapat berkata apa-apa, apabila bumi berkata demikian. Langit mendiamkan diri
dan dia mengadap Allah S.W.T dengan berkata, "Ya Allah, Engkau telah mengabulkan permintaan orang
yang tertimpa bahaya, apabila mereka berdoa kepada Engkau. Aku tidak dapat menjawab soalan bumi,
oleh itu aku minta kepada-Mu ya Allah supaya Muhammad Engkau dinaikkan kepadaku (langit) sehingga
aku menjadi mulia dengan kebagusannya dan berbangga."

    Lalu Allah S.W.T mengabulkan permintaan langit, kemudian Allah S.W.T memberi wahyu kepada
Jibrail A.S pada malam tanggal 27 Rejab, "Janganlah engkau (Jibrail) bertasbih pada malam ini dan
engkau 'Izrail jangan engkau mencabut nyawa pada malam ini."
Jibrail A.S. bertanya, " Ya Allah, apakah kiamat telah sampai?"
Allah S.W.T berfirman, maksudnya, "Tidak, wahai Jibrail. Tetapi pergilah engkau ke Syurga dan ambillah
buraq dan terus pergi kepada Muhammad dengan buraq itu."

    Kemudian Jibrail A.S. pun pergi dan dia melihat 40,000 buraq sedang bersenang-lenang di
taman Syurga dan di wajah masing-masing terdapat nama Muhammad. Di antara 40,000 buraq itu, Jibrail
A.S. terpandang pada seekor buraq yang sedang menangis bercucuran air matanya. Jibrail A.S.
menghampiri buraq itu lalu bertanya, "Mengapa engkau menangis, ya buraq?"

    Berkata buraq, "Ya Jibrail, sesungguhnya aku telah mendengar nama Muhammad sejak 40 tahun,
maka pemilik nama itu telah tertanam dalam hatiku dan aku sesudah itu menjadi rindu kepadanya dan aku
tidak mahu makan dan minum lagi. Aku laksana dibakar oleh api kerinduan."
Berkata Jibrail A.S., "Aku akan menyampaikan engkau kepada orang yang engkau rindukan itu."
Kemudian Jibrail A.S. memakaikan pelana dan kekang kepada buraq itu dan membawanya kepada Nabi
Muhammad S.A.W. Wallahu'alam.

Buraq yang diceritakan inilah yang membawa Rasulullah S.A.W dalam perjalanan Israk dan Mikraj.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kisah Pendeta Insaf

    Ibrahim al-Khawas ialah seorang wali Allah yang terkenal keramat dan dimakbulkan segala
doanya oleh Tuhan. Beliau pernah menceritakan suatu peristiwa yang pernah dialaminya.

Katanya, "Menurut kebiasaanku, aku keluar menziarahi Mekah tanpa kenderaan dan kafilah.
Pada suatu kali, tiba-tiba aku tersesat jalan dan kemudian aku berhadapan dengan seorang rahib Nasrani
(Pendita Kristian)."

Bila dia melihat aku dia pun berkata, "Wahai rahib Muslim, bolehkah aku bersahabat denganmu?"

Ibrahim segera menjawab, "Ya, tidaklah aku akan menghalangi kehendakmu itu."

    Maka berjalanlah Ibrahim bersama dengannya selama tiga hari tanpa meminta makanan
sehinggalah rahib itu menyatakan rasa laparnya kepadaku, katanya, "Tiadalah ingin aku memberitakan
kepadamu bahawa aku telah menderita kelaparan. Kerana itu berilah aku sesuatu makanan yang ada
padamu."

    Mendengar permintaan rahib itu, lantas Ibrahim pun bermohon kepada Allah dengan
berkata, "Wahai Tuhanku, Pemimpinku, Pemerintahku, janganlah engkau memalukan aku di hadapan seteru
engkau ini."

    Belum pun habis Ibrahim berdoa, tiba-tiba turunlah setalam hidangan dari langit berisi dua
keping roti, air minuman, daging masak dan tamar. Maka mereka pun makan dan minum bersama dengan
seronok sekali.

"Sesudah itu aku pun meneruskan perjalananku. Sesudah tiga hari tiada makanan dan minuman, maka di
kala pagi, aku pun berkata kepada rahib itu, "Hai rahib Nasrani, berikanlah ke mari sesuatu makanan
yang ada kamu.

    Rahib itu menghadap kepada Allah, tiba-tiba turun setalam hidangan dari langit seperti
yang diturunkan kepadaku dulu."

    Sambung Ibrahim lagi, "Tatkala aku melihat yang demikian, maka aku pun berkata kepada
rahib itu - Demi kemuliaan dan ketinggian Allah, tiadalah aku makan sehingga engkau memberitahukan
(hal ini) kepadaku."

Jawab rahib itu, "Hai Ibrahim, tatkala aku bersahabat denganmu, maka jatuhlah telekan makrifah
(pengenalan) engkau kepadaku, lalu aku memeluk agama engkau. Sesungguhnya aku telah membuang-buang
masa di dalam kesesatan dan sekarang aku telah mendekati Allah dan berpegang kepada-Nya.

    Dengan kemuliaan engkau, tiadalah dia memalukan aku. Maka terjadilah kejadian yang engkau
lihat sekarang ini. Aku telah mengucapkan seperti ucapanmu (kalimah syahadah)."

"Maka sucitalah aku setelah mendengar jawapan rahib itu. Kemudian aku pun meneruskan perjalanan
sehingga sampai ke Mekah yang mulia. Setelah kami mengerjakan haji, maka kami tinggal dua tiga hari
lagi di tanah suci itu. Suatu ketika, rahib itu tiada kelihatan olehku, lalu aku mencarinya di masjidil
haram, tiba-tiba aku mendapati dia sedang bersembahyang di sisi Kaabah."

    Setelah selesai rahib itu bersembahyang maka dia pun berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya
telah hampir perjumpaanku dengan Allah, maka peliharalah kamu akan persahabatan dan persausaraanku
denganmu."

    Sebaik sahaja dia berkata begitu, tiba-tiba dia menghembuskan nafasnya yang terakhir iaitu
pulang ke rahmatullah. Seterusnya Ibrahim menceritakan, "Maka aku berasa amat dukacita di atas
pemergiannya itu. Aku segera menguruskan hal-hal pemandian, kapan dan pengebumiannya. Apabila malam
aku bermimpi melihat rahib itu dalam keadaan yang begitu cantik sekali tubuhnya dihiasi dengan pakaian
sutera yang indah."

    Melihatkan itu, Ibrahim pun terus bertanya, "Bukankah engkau ini sahabat aku kelmarin,
apakah yang telah dilakukan oleh Allah terhadap engkau?"

Dia menjawab, "Aku berjumpa dengan Allah dengan dosa yang banyak, tetapi dimaafkan dan
diampunkan-Nya semua itu kerana aku bersangka baik (zanku) kepada-Nya dan Dia menjadikan aku
seolah-olah bersahabat dengan engkau di dunia dan berhampiran dengan engkau di akhirat."

    Begitulah persahabatan di antara dua orang yang berpengetahuan dan beragama itu akan
memperolehi hasil yang baik dan memuaskan. Walaupun salah seorang dahulunya beragama lain, tetapi
berkat keikhlasan dan kebaktian kepada Allah, maka dia ditarik kepada Islam dan mengalami
ajaran-ajarannya."

»»  Baca Lebih Lanjut...