'Tahu nggak? Kerusuhan di Ambon kembali marak!' tulis email yang saya terima hari itu. Hati ini kembali sedih. Konflik yang satu belum selesai, sudah disusul oleh lainnya. Tugas yang satu belum rampung digarap, persoalan lain menuntut penanggulangannya.
Kini, persoalan nyawa manusia-manusia yang tidak berdosa sepertinya menjadi bahan mainan. Rakyat kecil hampir selalu begitu nasibnya. Identik dengan penderitaan. Ambon, yang konon terkenal sebagai Ambon Manise, sekarang melegenda menjadi 'Ambon Bahaye!'.
Berbagai macam teori dipaparkan untuk menganalisa apa yang melatar-belakangi segala bentuk bentrokan yang tak kunjung usai ini. Ada yang bilang, peperangan itu terjadi atas nama mereka yang ingin memisahkan diri dari kedaulatan Republik Indonesia (RI). Ada pula yang mengatakan peristiwanya didukung oleh kelompok Republik Maluku Selatan yang pentolannya bermarkas di Belanda. Ada juga yang mengemukakan bahwa perang tersebut dalam upaya melenyapkan Umat Islam yang konon, adalah 'pendatang' disana. Tiga teori sudah! Mana yang tepat? Wallahu'alam!
Reaksinya pun bermacam-macam. Ada yang langsung menyalahkan pihak A sebagai provokator. Mereka yang pro Negara Kesatuan RI menyalahkan pihak B terlalu lemah dalam menangani perayaan peringatan RMS. Pihak Kristen menuduh ada upaya-upaya pihak C melakukan genocide di Maluku. Ada sebagian pula yang mengatakan ada pihak D yang sengaja membakar semangat kedua pihak (Kelompok Merah dan Kelompok Putih) agar perang lagi. Empat kemungkinan penyebab sudah! Mana yang benar? Wallahu'alam!
Perangpun belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bukan saja gedung-gedung, rumah, perabotan, jalan-jalan serta segala harta benda dan fasilitas umum lainnya telah rusak dibuatnya. Korban bergelimpangan layaknya ikan-ikan laut yang biasa berjajar di pantai indah Ambon. Hanya dalam hitungan detik, ratusan manusia-manusia Ambon, ditengah teriakan histeris dan jeritan beringas, ada yang sekarat, ratusan yang mengalami luka-luka, hingga meninggal sia-sia. Persis keadaannya seperti ribuan ikan yang setiap harinya dijaring oleh para nelayan-nelayan Ambon. Ketika ikan-ikan sudah dikumpulkan di tepi pantai, kondisinya tidak lebih dari saudara-saudara kita yang sedang menghadapi konflik sekarang ini. Bedanya, ikan-ikan tadi tidak ada satupun yang dikirim ke rumah sakit, mendapatkan pengobatan, injeksi, infus, apalagi sampai dijahit lukanya segala.
Ambon, apa yang kau cari?
Adalah Sidiq, salah seorang rekan, suatu hari di akhir pekan datang berkunjung ke apartemen kami. Bersama dia, seorang lelaki kurus, kecil, masih muda. "Jason!" katanya datar ketika saya berjabatan tangan dengannya. Dari namanya sudah bisa ditebak. Bukan orang Islam.
Kebetulan hari Jum'at waktu itu. Sekedar diketahui, Jum'at di negara-negara Arab sama dengan Ahad di Indonesia. Hari libur. Kaum Kristiani menyesuaikan waktu kebaktiannya dengan hari libur disana. Jadi jangan pernah menyangka bahwa Minggu (Baca: Ahad) adalah hari berdoa mereka. Di Arab, hari Jum'at kaum Kristiani ke gereja. Jadi wajar saja jika pada hari Jum'at kita menanyakan kepada mereka apakah ke gereja atau tidak. Pertanyaan yang sama saya kemukakan kepadanya "You went to church this morning Jason?" kataku sambil lalu, ketimbang tidak ada pembicaraan sama sekali. Toh dia adalah tamuku. Apa salahnya? "Yesss...!!" bukannya Jason yang menjawab, namun Sidiq. Si Jason hanya tersenyum. "Aku yang membangunkannya tadi pagi!" jelas Sidiq.
Sidiq dan Jason bekerja di satu instansi, Jason sebagai teknisi komputer dan Sidiq sebagai seorang akuntan. Mereka juga kos di satu apartemen. Sidiq yang Muslim dan Jason seorang Kristen. Namun keduanya akrab.
Ketika Imam masjid sebelah gedung kami mengumandangkan Iqamah, saya bilang sama si Jason: "Jason, we are going to masjid!" diteruskan oleh Sidiq, "Not long. Only ten minutes. You stay here please!" ada nada saling menghargai. Tanpa menyepelekan dia sebagai seorang penganut agama lain, namun juga tidak mengorbankan keyakinan hanya karena persoalan teman. Bila sholat tiba, pisah!
Sidiq bukan satu-satunya kenalan saya yang berteman dengan seorang Kristen dengan jalinan yang baik. 'Habluminannas...' hubungan baik sesama manusia. Zahoor dengan Ivan, Hassan dengan Oswold, Ida dengan Gerarda. Dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud membanggakan diri mereka sebagai Muslim yang baik, mereka bukan Islam KTP atau abangan. Jadi, melihat apa yang terjadi di Ambon, sungguh membuat hati ini perih.
Bagaimana tidak perih, jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memutarbalikkan fakta. Sejarah Islam di Tanah Air Indonesia membuktikan bahwa kaum Muslimin tidak memiliki sejarah dimana harus memaksakan kehendak terhadap kaum minoritas. Justru sejarah telah menunjukkan karena kebesaran jiwa kaum Muslimin Indonesia lah kaum minoritas di negeri ini menjadi terlindungi. Contoh yang paling konkrit adalah bagaimana orang Islam berkorban untuk menerima UUD 1945, bukannya Piagam Jakarta. Sebuah pengorbanan yang tidak kecil! Kamu minoritas pun bersorak. Tanda 'kemenangan'?
Saya jadi ingat akan sikap Rasulullah Muhammad SAW terhadap kaum kafir Quraysh dalam Perjanjian Hudaibiyah. Dalam buku yang berjudul 'Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW' karya HMH Al Hamid Al Hussaini (1997), ketika perjanjian itu hendak dituangkan dalam bentuk tertulis Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib r.a. supaya menulis kalimat 'Bismillahir Rahmannir Rahim'. Mendengar penuturan tersebut, Suhail bin Amr, wakil musyrikin Quraysh, cepat-cepat menukas 'Demi Allah, kami (kaum musyrikin Quraysh) tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan Ar Rahman. Tuliskan saja "Bismika Allahumma (Dengan namaMu ya Allah)". Kaum Muslimin yang mendengar usulan tersebut serentak mengatakan "Tidak!" Namun apa kata Rasulullah SAW: "Tuliskan Bismika Allahumma". Kemudian beliau SAW melanjutkan lagi "Kemudian tuliskan: inilah yang telah diputuskan dan disetujui oleh Muhammad Rasulullah!"
Demikian pula ketika persoalan kata Rasulullah muncul, Suhail kembali keberatan karena orang kafir Quraysh tidak dapat menerima Muhammad sebagai Rasulullah, kecuali Muhammad Bin Abdullah. Rasulullah pun pada akhirnya tidak keberatan. Hingga suatu saat Umar bin Khatab r.a. sempat bertanya: "Ya Rasulullah adakah ini suatu kemenangan?" "Ya!" jawab Rasulullah SAW. Identik dengan Piagam Jakarta dan UUD 1945?
Begitulah. Umat Islam seringkali dihadapkan pada masalah-masalah dimana harus mengambil posisi yang rumit sekali. Seperti halnya yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, semoga pemimpin-pemimpin bangsa kita pada tanggal 18 Agustus 1945 dulu diilhami oleg suri tauladan Rasulullah SAW. Berkorban demi kemenangan!
Kisah Perjanjian Hudaibiyah ini memegang peranan yang penting sekali dalam sejarah strategi kaum Muslimin. Jumlah mereka yang waktu itu tidak melebihi 1500 orang (manurut Riwayat Jabir r.a), dua tahun kemudian, ketika beliau berangkat ke Mekkah untuk merebut kota itu secara damai, jumlah kaum Muslimin sudah mencapai 10.000 orang. Dibawah Pemerintahan Islam, Mekkah dan Madinah mencapai puncak demokrasinya. Kaum minoritas waktu itu bahkan turut menikmati kejayaan Islam, tanpa harus menjadi Muslim. Rasulullah SAW malah menganjurkan kaum kafir ini tetap dilindungi.
Apa yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, alhamdulillah tetap dijadikan suatu percontohan. Hingga saat ini, dimana Islam menjadi mayoritas, kaum minoritas bisa hidup dengan aman dan tenteram di banyak negeri. Tentu saja ada perkecualian dimana konflik eksis, kriminalitas ada dimana-mana. Tapi seberapa besar prosentasinya? Kaum Muslimin, tidak akan 'menggigit' jika tidak diganggu.
Negara tetangga kita, Malaysia misalnya, dalam naungan Islam, orang diluar Islam baik itu Hindu, Budha maupun Kristen, bisa menikmati kemajuan dan perkembangan negara tersebut yang sudah tentu amat menguntungkan posisi mereka. Di negara-negara Arab, bukankah sudah cukup bukti bahwa dengan penerapan hukum Islam angka kriminalitas terbukti paling sedikit di dunia. Jika sekiranya tinggal di negara-negara Arab ternyata tidak aman, kenapa prosentase ekspatriat misalnya di Kuwait, atau UAE justru lebih besar dibanding penduduk mereka sendiri. Dan jangan pernah mengira bahwa para pendatang ini orang Islam semuanya. Tidak sedikit yang Hindu, Kristen, Budha hingga Kong Hu Chu!
Suatu hari datang email lagi dari orang yang tidak saya kenal menyatakan bahwa di Saudi Arabia penuh pelanggaran hak-hak azazi manusia, para pembantu (PRT) (maaf) diperkosa, tidak dibayar, disiksa, dsb. Saya tidak menutup mata bahwa kejadian tersebut ada. Jangankan di Saudi, di negara kita saja pelecehan yang serupa juga acapkali terjadi. Hanya saja, kalau kita tahu jalur hukum, orang Saudi juga tidak bisa berbuat sesuka mereka. Dalam pandangan hukum disana, semua orang sama kedudukannya. Setiap hari Jumat misalnya ada saja orang yang dihukum penggal kepala atau rajam, tanpa melihat apakah mereka penduduk Saudi asli atau tidak, Muslim atau Kristen, semuanya sama!
Melihat sebuah gereja yang terletak tidak jauh dari kediaman saya, jadi teringat akan peristiwa Ambon. "Ada apa dengan Indonesia? Perang Islam-Kristen ya?" pertanyaan serupa mengalir begitu saja dari mulut-mulut yang saya kenal. Saya bersyukur nama baik kaum Muslimin di Indonesia tidak seburuk yang disangka orang-orang RMS. Dunia tahu dalam sejarah perkembangan Islam di negeri ini tidak ada campur tangan kekerasan. Jadi email seseorang yang tidak saya kenal yang mengemukakan bahwa ada proses Islamisasi di Maluku dan Timor Timur tidak berdasar.
Dalam bukunya 'The Spread of Islam in the World: A History of Islamic Peaceful Preaching', Professor Thomas Arnold (2001), menyebutkan bahwa sejak permulaannya Islam masuk bumi Nusantara, waktu itu masih dibawah naungan Kerajaan Majapahit, Raja dan Ratu Champa, meskipun mereka tidak memeluk Islam, namun menerima kedatangan seorang keturunan Arab, Sheikh Maulana Jumada Al Kubra, yang memperkenalkan misi Islam kepada masyarakat pagan di wilayah Ampel-Gresik (Jatim). Bahkan beliau mendapatkan ijin dari Raja Majapahit, hingga waktu itu mencapai 3000 keluarga yang masuk Islam. Dari sinilah kemudian Islam berkembang secara luas di bumi ini. Tanpa paksaan, tanpa kekerasan. Demikian kata profesor asal Inggris yang pernah mengajar di Aligarh (India, 1896) dan Lahor-Pakistan itu.
Kembali saya melihat gereja tadi. Terletak di pinggir jalan, tepatnya berhadap-hadapan dengan sebuah masjid di lungkungan Sudanese Club. Orang-orang Kristen disana tidak pernah terganggu ibadahnya. Hari Natal misalnya, meski secara nasional Natal dan Paskah tidak diakui oleh Pemerintah negara-negara Arab, biasanya perusahaan mereka memberikan ijin untuk kerja misalnya hanya sampai jam 9 pagi saja. Tidak sedikit yang diberikan libur. Orang-orang Kristen diberikan hak-hak dan kedudukan yang sama dengan kaum Muslimin, bahkan kalau sudah persoalan Natal dan Paskah itu, mereka dilebihkan kan? Selama bulan Puasa Ramadan mereka hanya kerja 5 jam, dan libur panjang pada hari Idul Fitri dan Idul Adha sebagaimana orang-orang Islam.
Dengan demikian, mana negara di dunia yang memberlakukan masyarakatnya sebagaimana negara-negara Arab memperlakukan orang-orang non-Muslim? Adakah orang-orang Islam di dunia yang mendapatkan perlakukan se-fairsebagaimana orang-orang Kristen diperlakukan di negara-negara Islam? Dentingan lonceng gereja mungkin saja memang tidak terdengar di negeri Arab. Namun kaum Kristiani bebas beribadah ditengah-tengah gaung Adzan dimana-mana, dengan tanpa merasa khawatir diganggu.
Ambon...
Luasmu tidak seberapa seberapa dibandingkan dengan Indonesia secara keseluruhan. Tapi umat Islam yang ada di daerahmu tidak henti-hentinya menghadapi cobaan yang amat besar. Namun percayalah, bahwa Islam bisa selalu tumbuh dan besar karena berbagai cobaan. Dan itu terjadi tidak hanya di bumi Ambon saja, malah sejak jaman Rasulullah SAW. 'Telah Kami limpahkan kepadamu (hai Muhammad) suatu kemenangan nyata; Allah mengampuni kekeliruanmu yang telah lalu dan yang akan datang, dan Allah akan mencukupkan karuniahNya kepadamu serta membimbingmu ke jalan yang lurus, dan hendak menolongmu dengan pertolongan sekuat-kuatnya' (QS Al-Fath: 1-3).