Selasa, 17 Desember 2013

Hikayat Seekor Katak

Pada suatu hari ada segerombol katak-katak kecil,...

clip_image003 clip_image003[1]clip_image003[2]clip_image003[3]clip_image003[4]clip_image003[5]

… yang menggelar lomba lari

Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi.

clip_image005

Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan dan memberi semangat kepada para peserta...

clip_image006clip_image006[1]clip_image006[2]

Perlombaan dimulai...

clip_image003[6]clip_image003[7]clip_image003[8]clip_image003[9]clip_image003[10]clip_image003[11]clip_image003[12]clip_image003[13]clip_image003[14]clip_image003[15]

Secara jujur:

Tak satupun penonton benar2 percaya bahwa katak2 kecil akan bisa mencapai puncak menara.

Terdengar suara:

"Oh, jalannya terlalu sulitttt!!

Mereka TIDAK AKAN PERNAH sampai ke puncak."

atau:

"Tidak ada kesempatan untuk berhasil...Menaranya terlalu tinggi...!!

clip_image007

Katak2 kecil mulai berjatuhan. Satu persatu...

... Kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara perlahan- lahan semakin tinggi...dan semakin tinggi..

clip_image008clip_image008[1]clip_image008[2]clip_image008[3]clip_image008[4]

Penonton terus bersorak

"Terlalu sulit!!! Tak seorangpun akan berhasil!"

clip_image006[3]clip_image006[4]clip_image006[5]

Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah...

...Tapi ada SATU yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi...

Dia tak akan menyerah!

clip_image003[16]

Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak!

SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini bisa melakukannya?

clip_image009

Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan?

clip_image010

Ternyata...

Katak yang menjadi pemenang itu TULI!!!!

clip_image011

Kata bijak dari cerita ini adalah:

clip_image012

Jangan pernah mendengar orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif ataupun pesimis...

…karena mereka mengambil sebagian besar mimpimu dan menjauhkannya darimu.

Selalu pikirkan kata2 bertuah yang ada.

Karena segala sesuatu yang kau dengar dan kau baca bisa mempengaruhi perilakumu!

Karena itu:

Tetaplah selalu....

clip_image014


POSITIVE!

clip_image015

Dan yang terpenting:

clip_image016

Berlakulah TULI jika orang berkata kepadamu bahwa KAMU tidak bisa menggapai cita-citamu!

Selalu berpikirlah:

I can do this!

Kirim pesan ini kepada minimal 5 temanmu.

Berikan mereka motivasi!!!

Karena teman yang baik adalah teman yang bisa saling memberi motivasi satu sama lain.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Ketika Allah Berkata TIDAK

KETIKA ALLAH BERKATA TIDAK

* Ya Allah ambillah kesombonganku dariku. Allah berkata, "Tidak. Bukan Aku yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya."

* Ya Allah sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat. Allah berkata, "Tidak. Jiwanya telah sempurna, tubuhnya hanyalah sementara."

* Ya Allah beri aku kesabaran. Allah berkata, "Tidak. Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan; tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri."

* Ya Allah beri aku kebahagiaan. Allah berkata, "Tidak. Kuberi keberkahan, kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri untuk menghargai keberkahan itu."

* Ya Allah jauhkan aku dari kesusahan. Allah berkata, "Tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada Ku."

* Ya Allah beri aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat Allah berkata, "Tidak. Aku beri kau kehidupan supaya kau menikmati segala hal."

* Ya Allah bantu aku MENCINTAI orang lain, sebesar cintaMu padaku Allah berkata...

"Akhirnya kau mengerti !"

Kadang kala kita berpikir bahwa Allah tidak adil, kita telah susah payah memanjatkan doa, meminta dan berusaha, pagi-siang-malam, tapi tak ada hasilnya. Kita mengharapkan diberi pekerjaan, puluhan-bahkan ratusan lamaran telah kita kirimkan tak ada jawaban sama sekali -- orang lain dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Kita sudah bekerja keras dalam pekerjaan mengharapkan jabatan, tapi justru orang lain yang mendapatkannya - tanpa susah payah.

Kita mengharapkan diberi pasangan hidup yang baik dan sesuai, berakhir dengan penolakkan dan kegagalan, orang lain dengan mudah berganti pasangan. Kita menginginkan harta yang berkecukupan, namun kebutuhanlah yang terus meningkat.

Coba kita bayangkan diri kita seperti anak kecil yang sedang demam dan pilek, lalu kita melihat tukang es. Kita yang sedang panas badannya merasa haus dan merasa dengan minum es dapat mengobati rasa demam (maklum anak kecil). Lalu kita meminta pada orang tua kita (seperti kita berdoa memohon pada Allah) dan merengek agar dibelikan es. Orangtua kita tentu lebih tahu kalau es dapat memperparah penyakit kita. Tentu dengan segala dalih kita tidak dibelikan es. Orangtua kita tentu ingin kita sembuh dulu baru boleh minum es yang lezat itu.

Begitu pula dengan Allah, segala yang kita minta Allah tahu apa yang paling baik bagi kita. Mungkin tidak sekarang, atau tidak di dunia ini Allah mengabulkannya. Karena Allah tahu yang terbaik yang kita tidak tahu.

Kita sembuhkan dulu diri kita sendiri dari "pilek" dan "demam".... dan terus berdoa.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kisah Seorang Pelacur dan Nabi Musa AS.

Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa rias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya.

Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk". Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya. Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya.

" Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa as terkejut.

"Saya takut mengatakannya." jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa.

Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya ......telah berzina."

Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan, "Dari perzinaan itu saya

pun......lantas hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya....... cekik lehernya sampai......tewas", ucap wanita itu seraya menagis sejadi-jadinya. Nabi musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia menghardik "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh kedalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.

Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau di bawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya,bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.

Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertobat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?"

Nabi Musa terperanjat . Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar dari pada perempuan yang nista itu?"

"Ada!" jawab Jibril dengan tegas.

"Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran. "Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal.Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina" Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyadari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya.

Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya. Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.

(Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)

Dalam hadist Nabi SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka'bah. Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga

terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.

Demikianlah kisah Nabi Musa dan wanita pezina dan dua hadist Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah. Tolong sebarkan kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahui.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Mencintai Apa Adanya

"Jika sekarang Anda memiliki seorang yang sangat dicintai, ingatlah selalu kebaikannya, sayangilah segalanya, agar segala perasaan yang indah menjadi nyata."

Tahun itu dia mendadak muncul, Xiao Cien namanya. Tampangnya tidak seberapa. Di bawah dukungan teman sekamar, dengan memaksakan diri aku bersahabat dengan dia. Secara perlahan, aku mendapati bahwa dia adalah orang yang penuh pengertian dan lemah lembut.

Hari berlalu, hubungan kami semakin dekat, perasaan di antara kami semakin menguat, dan juga mendapat dukungan dari teman-teman. Pada suatu hari di tahun kelulusan kami, dia berkata padaku, "Saya telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi, tetapi di Amerika, dan saya tidak tahu akan pergi berapa lama, kita bertunangan dulu, bolehkah?" Mungkin dalam keadaan tidak rela melepas kepergiannya, saya mengangguk.

Oleh karena itu, sehari sesudah hari wisuda, hari itu menjadi hari pertunangan kami berdua. Setelah bertunangan tidak berapa lama, bersamaan dengan ucapan selamat dan perasaan berat hati dalam hatiku, dia menaiki pesawat dan terbang menuju sebuah negara yang asing. Saya juga mendapatkan sebuah pekerjaan yang bagus, memulai hari bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Telepon internasional merupakan cara kami untuk tetap berhubungan dan melepas kerinduan.

Suatu hari, sebuah hal yang naas terjadi pada diriku. Pagi hari, dalam perjalanan menuju tempat kerja, sebuah taksi demi menghindari sebuah anjing di jalan raya, mendadak menikung tajam.....
Tidak tahu lewat berapa lama saya pingsan. Saat siuman telah berada di rumah sakit, dimana anggota keluarga menunggu mengelilingi tempat tidur saya. Mereka lantas memanggil dokter.

"Pa?" saya ingin memanggilnya tapi tidak ada suara yg keluar. Mengapa? Mengapa saya tidak dapat memanggilnya? Dokter mendatangiku dan memeriksa, suster menyuntikkan sebuah serum ke dalam diriku, mempersilahkan yang lainnya untuk keluar terlebih dahulu.

Ketika siuman kembali, yang terlihat adalah raut wajah yang sedih dari setiap orang, sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa saya tidak dapat bersuara? Ayah dengan sedihnya berkata, "Dokter bilang syaraf kamu mengalami luka, untuk sementara tidak dapat bersuara, lewat beberapa waktu akan membaik."

"Saya tidak mau!" saya dengan berusaha memukul ranjang, membuka mulut lebar-lebar berteriak, tapi hanya merupakan sebuah protes yang tidak bersuara. Setelah kembali ke rumah, kehidupanku berubah. Suara telepon yang didambakan waktu itu, merupakan suara yang sangat menakutkan sekarang ini. Saya tidak lagi keluar rumah, juga menjadi seorang yang menyia-nyiakan diri, ayah mulai berpikir untuk pindah rumah. Dan dia? di belahan bumi yang lain, yang diketahui hanyalah saya telah membatalkan pertunangan kami, setiap telepon darinya tidak mendapatkan jawaban, setiap surat yang ditulisnya bagaikan batu yang tenggelam ke dasar lautan.

Dua tahun telah berlalu, saya secara perlahan telah dapat keluar dari masa yang gelap ini, memulai hidup baru, juga mulai belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Suatu hari, Xiao Cien memberitahu bahwa dia telah kembali, sekarang bekerja sebagai seorang insinyur di sebuah perusahaan. Saya berdiam diri, tidak mengatakan apapun. Mendadak bel pintu berbunyi, berulang-ulang dan terdengar tergesa-gesa. Tidak tahu harus berbuat apa, ayah menyeretkan langkah kakinya yang berat, pergi membuka pintu.

Saat itu, di dalam rumah mendadak hening. Dia telah muncul, berdiri di depan pintu rumahku. Dia mengambil napas yang dalam, dengan perlahan berjalan ke hadapanku, dengan bahasa isyarat yang terlatih, dia berkata, "Maafkan saya! Saya terlambat satu tahun baru menemuimu. Dalam satu tahun ini, saya berusaha dengan keras untuk mempelajari bahasa isyarat, demi
untuk hari ini. Tidak peduli kamu berubah menjadi apapun, selamanya kamu merupakan orang yang paling kucintai. Selain kamu, saya tidak akan mencintai orang lain, marilah kita menikah!"

"Friends are angels who lift us to our feet when our wings have trouble remembering how to fly." (Unknown, Friendship Quotation)

»»  Baca Lebih Lanjut...

Rabu, 13 November 2013

Surat Dari Tuhan

Saat kau bangun dipagi hari, Aku memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepadaKu, walaupun hanya sepatah kata, meminta pendapatKu atau bersyukurkepadaKu atas sesuatu hal indah yang terjadi didalam hidupmu
kemarin, tetapi Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.

Aku kembali menanti. Saat engkau sedang bersiap, Aku tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKu, tetapi engkau terlalu sibuk.

Di satu tempat, engkau duduk di sebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian Aku melihat engkau menggerakkan kakimu. Aku berpikir engkau ingin berbicara kepadaKu tetapi engkau berlari ke telepon dan menelepon seorang teman untuk mendengarkan gosip terbaru.

Aku melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan Aku menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua kegiatanmu, Aku berpikir engkau terlalu sibuk untuk mengucapkan sesuatu kepadaKu.

Sebelum makan siang Aku melihatmu memandang kesekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKu, itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu. Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara kepadaKu dengan lembut sebelum mereka makan, tetapi engkau tidak melakukannya.

Tidak apa-apa. Masih ada waktu yang tersisa, dan Aku berharap engkau akan berbicara kepadaKu, meskipun saat engkau pulang ke rumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan. Setelah beberapa hal tersebut selesai engkau kerjakan, engkau menyalakan televisi, Aku tidak tahu apakah kau suka menonton televisi atau tidak, hanya saja engkau selalu kesana dan menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya, tanpa
memikirkan apapun hanya menikmati acara yang ditampilkan.

Kembali Aku menanti dengan sabar saat engkau menonton TV dan menikmati makananmu tetapi kembali kau tidak berbicara kepadaKu. Saat tidur Kupikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada
keluargamu, kau melompat ke tempat tidur dan tertidur tak lama kemudian. Tidak apa-apa karena mungkin engkau tidak menyadari bahwa Aku selalu hadir untukmu.

Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. Aku bahkan ingin mengajarkanmu bagaimana bersabar terhadap orang lain.Aku sangat mengasihimu, setiap hari Aku menantikan sepatah kata, doa atau pikiran atau
syukur dari hatimu.

Baiklah... engkau bangun kembali dan kembali Aku akan menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiKu sedikit waktu. Semoga harimu menyenangkan. Yang selalu menyertaimu setiap saat, ALLAH
SWT.
NB. Apakah kau memiliki cukup waktu untuk mengirimkan surat ini kepada orang lain yang kau sayangi

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kamis, 30 Mei 2013

Kutangisi Hari-Hariku Yang Sia-Sia

 
Wajah saudariku memucat, tubuhnya mengering. Meskipun begitu, ia tetap selalu membaca al-Qur’an. Jika engkau mencarinya, ia akan senantiasa rukuk, sujud, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Begitulah yang selalu ia lakukan, baik di pagi hari, sore, bahkan tengah malam tanpa jemu. Sementara itu, aku lebih suka membaca majalah sastra dan buku cerita, atau menonton video. Kewajibanku terbengkalai, bahkan shalatku berantakan. Kendati video sudah kumatikan, tapi aku masih asyik menonton film selama tiga jam berturut-­turut­. Nah, kini adzan berkumandang di mushalla dekat rumahku. Aku kembali ke tempat tidur. Suara saudariku terdengar memanggilku dari mushalla.
“Ya, apa yang engkau inginkan, Naura?” kataku.
Dengan suara datar saudariku bilang, “Jangan dulu tidur sebelum shalat subuh.”
Oh, satu jam lagi baru shalat subuh, karena yang kudengar kali ini baru adzan pertama. Dengan suara yang lembut -begitulah kebiasaan saudariku, bahkan sebelum menderita penyakit ganas yang jatuh terbaring di ranjang- saudariku memanggilku, “Kemarilah, Hanna, duduklah di dekatku.”
Aku tidak kuasa menolak permintaannya. Engkau pun juga pasti begitu. Jika merasakan ketulusan dan kejernihannya, engkau akan tunduk memenuhi ke­inginannya.
“Ada apa, Naura?” kataku.
“Duduklah!”
“Ini aku sudah duduk, ada apa?” desakku.
Dengan suara yang merdu dan welas asih saudariku membacakan ayat Al-Qur’an,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (Ali ‘Imran: 185).
Sejenak ia terdiam. Setelah itu, ia bertanya kepadaku, “Bukankah engkau percaya pada kematian?”
“Ya, aku percaya,” jawabku.
“Bukankah engkau percaya kalau setiap amalmu kelak akan dihisab, baik yang kecil maupun yang besar?”
“Ya, tetapi Allah Maha Penyayang dan perjalanan masih panjang,” jawabku.
“Saudariku, apakah engkau tidak khawatir kematian datang secara tiba-tiba? Lihatlah Hindun lebih muda darimu, ia meninggal dunia karena kecelakaan. Lihatlah si ini dan ini. Kematian tidak mengenal usia.”
Dengan suara ketakutan, karena suasana gelap di mushalla, aku berkata, “Aku sudah takut pada kegelapan. Sekarang engkau menakut-nakutik­u dengan kematian. Kalau begitu, bagaimana aku bisa tidur? Kukira engkau ingin memberitahuku bisa ikut pergi bersama kami di liburan ini.”
Tiba-tiba suara saudariku kertak-kertuk di teng­gorokan. Hatiku begidik. Ia berkata, “Mungkin tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang berbeda. Bisa jadi begitu, Hanna. Usia itu di tangan Allah.”
Setelah berkata demikian, saudariku menangis. Aku mulai memikirkan penyakit ganas yang ia derita. Diam-diam dokter memberi tahu ayahku bahwa karena penyakit yang diderita, usia saudariku tidak lama lagi. Tetapi, siapa yang membocorkan hal itu pada saudariku? Ataukah dig sedang merasakan hal itu?
“Apa yang engkau pikirkan?” kata saudariku membuyarkan pikiranku. “Apakah engkau kira aku berkata begitu karena aku sakit? Tidak. Bisa jadi aku hidup lebih lama daripada orang yang sehat. Dan engkau sendiri sampai kapan akan hidup? Ketahuilah, Hanna, hidup itu hanya sementara. Kemudian apa? Tiap-tiap kita akan pergi meninggalkan dunia ini; ke surga atau neraka. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
”Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung” (Al Ilmran: 185).’”
“Engkau akan baik-baik saja,” kataku seraya berlari meninggalkannya­. Perkataan saudariku terngiang-ngian­g di telingaku.
“Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadamu. Jangan lupa shalat yang delapan di pagi hari.”
Tidak lama setelah itu, aku mendengar pintu kamarku diketuk orang. Jelas ini bukan waktunya aku bangun tidur. Kudengar isak tangisan dan gemuruh suara banyak orang. Apa yang terjadi? Oh, ternyata keadaan Naura mem­buruk, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, ternyata tahun ini tidak jadi berangkat jalan-jalan. Tahun ini aku ditakdirkan untuk tinggal di rumah. Jam satu siang, ayah datang dari rumah sakit.
“Engkau bisa menjenguknya sekarang, ayo cepat,” kata ayah kepadaku.
Menurut ibu, suara ayah mengisyaratkan kegun­dahan. Suaranya berubah. Mantel telah di tangan, lalu di mana supir? Kami pun segera meluncur ke rumah sakit. Jalan yang kami telusuri bersama supir untuk jalan-jalan biasanya tampak pendek. Tetapi, hari ini tampak panjang, bahkan sangat panjang. Di manakah gerangan keru­munan orang yang membuatku menoleh kanan-kiri? Di sampingku ibuku berdoa untuk saudariku.
“Dia anak yang saleh dan taat. Aku belum pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu,” kata ibuku lirih.
Memasuki pintu luar rumah sakit, kami menyaksikan pemandangan banyak pasien. Ada pasien yang mengerang- erang, ada korban kecelakaan, dan ada pula yang matanya cekung. Engkau barangkali tidak bisa membedakan, apakah mereka penghuni dunia atau akhirat. Sebuah pemandangan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Segera kami menelusuri anak tangga. Ternyata, saudariku dirawat di ruang ICU.
Seorang perawat menenangkan ibuku. Ia bilang keadaan saudariku membaik setelah sempat pingsan. Di rumah sakit itu tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan pasien lebih dari satu orang, apalagi ini ruang ICU. Di tengah kerumunan para dokter, melalui jendela kecil kulihat mata saudariku, Naura, melihatku. Adapun ibuku berdiri di sisinya. Dua menit kemudian, ibuku keluar karena tidak sanggup membendung air matanya. Mereka mengizinkanku masuk, asal tidak terlalu banyak berbicara dengan pasien. Dua menit sudah cukup.
“Apa kabar, Naura?” sapaku.
“Sore kemarin aku baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi padamu?
Setelah memagang tanganku, saudariku bilang, “Sekarang, alhamdulillah aku baik-baik saja.”
“Alhamdulillah,­ tapi mengapa tanganmu dingin?” kataku.
Aku duduk di pinggiran dipan sembari memegangi betis Naura.
“Apakah sebaiknya jauhkan yang kiri dari yang kanan, kasihan jika engkau sampai merasa terhimpit,” kataku.
“Tidak, aku hanya memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. ” (Al-Qiyamah: 29-30)
Hanna, doakanlah aku, karena mungkin sebentar lagi aku akan mengawali hari akhiratku. Perjalananku begitu jauh, tetapi bekal yang kubawa teramat sedikit.”
Mendengar perkataan saudariku, air mataku tumpah tak terasa. Aku menangis, tak peduli sedang berada di mana. Aku terus menangis. Ayah kelihatannya lebih mengkhawatirkan­ku daripada Naura. Memang, mereka tidak terbiasa melihatku menangis dan menyendiri di kamar seiring terbenamnya mentari di hari berkabut itu. Rumahku hening mencekam.
Anak perempuan bibiku masuk. Peristiwa begitu cepat terjadi. Orang-orang pun berdatangan. Suara menggaduh. Satu yang kutahu; Naura telah tiada. Naura meninggal dunia. Aku hampir tidak bisa membedakan siapa saja yang datang, juga tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Ya Allah, di manakah daku? Apa yang tengah terjadi? Aku tak berdaya, bahkan untuk menangis sekalipun. Beberapa saat kemudian, mereka memberitahuku bahwa ayah membawaku untuk mengucapkan perpisahan pada saudariku. Selain itu, mereka bilang aku menciumnya. Tidak ada yang kuingat selain satu hal, yaitu ketika aku melihatnya pucat pasi di ranjang kematian sempat membacakan ayat Al-Qur’an, ‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).’ Aku mulai menyadari sebuah hakikat;
‘Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihaIau.’ (AI-Qiyamah: 29-30)
Tanpa sadar, malam itu aku menengok mushalla saudariku. Saat itu aku teringat dengan siapa aku berbagi kasih sayang ibu. Aku terkenang pada orang yang turut menanggung kesedihanku. Aku teringat pada sosok yang turut menghalau dukaku. Selain itu, aku juga teringat pada orang yang memohonkan hidayah Tuhan, dan yang menumpahkan air mata sepanjang malam saat meng­ajakku bicara tentang kematian dan hari penghitungan amal..
Ini malam pertama ia berada dalam kuburnya. Ya Al­lah, kasihanilah ia, dan sinarilah kuburnya. Ini mushafnya, ini sajadahnya, ini … dan ini … Bahkan, ini gaun bermotif bunga yang pernah diceritakan kepadaku, ‘Gaun ini akan kusimpan buat hari pernikahanku.’ Jika teringat pada semua itu, aku tak kuasa membendung air mata pe­nyesalan pada hari-hariku yang sia-sia. Aku terus menangis dan berdoa semoga Allah mengasihiku, menerima taubatku, dan memaafkanku. Aku juga berdoa semoga Allah meneguhkannya di kuburnya seperti yang sering ia mohon pada-Nya.
Entah mengapa, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana jika yang meninggal dunia itu aku? Ke mana arah perjalananku? Karena rasa takut yang menyelimutiku, aku sengaja tidak mencari jawaban. Aku hanya menangis sedu sedan. Allahu Akbar!
Suara adzan subuh berkumandang, kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku merasa damai dan tentram sembari mengulangi bacaan adzan. Kulipat bajuku, lalu berdiri melaksanakan shalat subuh. Aku shalat seperti or­ang yang akan segera mati, sebagaimana shalat yang dilakukan saudariku sebelumnya. Jika pagi aku tidak menunggu petang, dan jika petang aku tidak menunggu pagi. [Az-Zaman al-Qadim, hal.4]

»»  Baca Lebih Lanjut...

Jumat, 03 Mei 2013

Kepahlawan Berawal dari hati

Bob Butler kehilangan kakinya terkena ranjau di Vietnam th 1965.
20 tahun kemudian, ia membuktikan bahwa kepahlawanannya berasal dr hati.
Ketika Butler sedang bekerja di rumahnya di Arizona, ia mendengar jeritan seorg wanita dr sebuah rumah di dekatnya.
Ia mulai menggulirkan kursi rodanya menuju rumah tsb, tetapi semak²  membuatnya tdk bisa masuk.
Lalu ia turun dr kursi rodanya & mulai merangkak melewati semak² tsb. "Aku harus kesana," ktnya. "Tdk peduli betapa sakitnya."
Ketika Butler tiba di kolam renang, ada seorg gadis 3 th, Stephanie Hanes, tercebur ke dalamnya. Ia lahir tanpa lengan & jatuh ke dalam kolam tsb.
Ibunya berdiri berteriak panik. Butler terjun ke dasar kolam & membawanya naik.
Wajahnya membiru, tdk ada denyut & tdk bernapas. Butler segera lakukan pernapasan buatan utk membuatnya bernapas kembali.
Sementara, si Ibu menelepon paramedis. Krn tak berdaya, ia menangis & memeluk bahu Butler.
Butler melanjutkan pemberian napas buatan & dgn tenang meyakinkan si Ibu. "Jangan khawatir, sy sudah jadi tangannya utk keluar dr kolam renang. Kini, sy menjadi paru²nya"
Beberapa saat kemudian gadis kecil itu batuk², sadar kembali & mulai menangis. Si ibu langsung memeluk anaknya.
Sambil berpelukan, si Ibu bertanya pada Butler "Bgm Anda tahu kalau anakku akan baik² saja."
"Sy tdk tahu," ktnya. "Tapi ketika kaki sy meledak di Vietnam, sy sendiri. Tdk ada seorgpun di sana yg membantuku, kecuali seorg gadis Vietnam. Ia berjuang menyeretku ke desanya, ia berbisik dlm bahasa Inggris yg terpatah², "Tdk apa², Anda dpt hidup lagi. Sy akan jadi kaki Anda. Kata² itulah yg membawa harapan bagi jiwa sy & sy ingin lakukan hal yg sama utk dia."
Ada saat² ketika kita tdk bisa berdiri sendiri. Ada saat² ketika kita butuh seseorg utk jadi kaki kita, tangan kita, teman kita.
Ada saatnya kita jadi kaki/tangan utk org lain.
Maka, selalulah JADI PENOLONG!
Pastikan hidup kita berdampak utk org lain. That's REAL LIFE!

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kamis, 02 Mei 2013

8 Kado Terindah

  

Aneka kado ini tidak dijual di toko. Anda bisa menghadiahkannya setiap
saat,dan tak perlu membeli ! Meski begitu, delapan macam kado ini adalah
hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang Anda sayangi.

1. KEHADIRAN
Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai
harganya. Memang kita bisa juga hadir dihadapannya lewat surat, telepon,
foto atau faks. Namun dengan berada disampingnya. Anda dan dia dapat
berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan
intensif. Dengan demikian, kualitas kehadiran juga penting. Jadikan
kehadiran Anda sebagai pembawa kebahagian.

2. MENDENGAR
Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini, sebab, kebanyakan orang
Lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Sudah lama diketehui
bahwa keharmonisan hubungan antar manusia amat ditentukan oleh kesediaan
saling mendengarkan. Berikan kado ini untuknya. Dengan mencurahkan
perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah
menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar
denganbaik, pastikan Anda dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa
menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu
menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya. Ini
memudahkan Anda memberi tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus
berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasihpun akan
terdengar manis baginya.

3. D I A M
Seperti kata-kata, didalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai
Untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari
segalanya. Diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang
karena memberinya "ruang". Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa
gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomeli.

4. KEBEBASAN
Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki
atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku
mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan
adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah, " Kau
bebas berbuat semaumu." Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah
memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal
yang ia putuskan atau lakukan.

5. KEINDAHAN
Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih
ganteng atau cantik ? Tampil indah dan rupawan juga merupakan kado lho.
Bahkan tak salah jika Anda mengkadokannya tiap hari ! Selain keindahan
penampilan pribadi, Anda pun bisa menghadiahkan keindahan suasana
dirumah. Vas dan bunga segar cantik di ruang keluarga atau meja makan
yang tertata indah, misalnya.

6. TANGGAPAN POSITIF
Tanpa, sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran,
sikap atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang
benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba
hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah
ingat,berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih
atas segala hal yang dilakukannya demi Anda. Ingat-ingat pula, pernahkah
Anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga
permintaan maaf ), adalah kado cinta yang sering terlupakan.

7. KESEDIAAN MENGALAH Tidak semua masalah layak menjadi bahan
pertengkaran. Apalagi sampai Menjadi cekcok yang hebat. Semestinya Anda
pertimbangkan, apa iya sebuah hubungan cinta dikorbankan jadi berantakan
hanya gara-gara persoalan itu? Bila Anda memikirkan hal ini, berarti
Anda siap memberikan kado " kesediaan mengalah" Okelah, Anda mungkin
kesal atau marah karena dia telat datang memenuhi janji. Tapi kalau
kejadiannya baru sekali itu, kenapa mesti jadi pemicu pertengkaran yang
berlarut-larut ? Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit
hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna
didunia ini.

8. SENYUMAN
Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman,
terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang
beku, pemberi semangat dalam keputus asaan. pencerah suasana muram,
bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat
untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali
anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi ?

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kisah Kepompong

  

Seorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk dan mengamati dalam beberapa jam kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya
melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi.

Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya, dia ambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya.Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap2 mengkerut.Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan
melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yg mungkin akan berkembang dalam waktu.

Semuanya tak pernah terjadi. Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Dia tidak pernah
bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yg menghambat dan perjuangan yg dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Tuhan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.

Kadang-kadang perjuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan, itu mungkin melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yg semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak pernah dapat terbang. Saya memohon Kekuatan ..Dan Tuhan memberi saya kesulitan-kesulitan untuk membuat saya kuat.

Saya memohon Kebijakan ... Dan Tuhan memberi saya persoalan untuk diselesaikan.

Saya memohon Kemakmuran .... Dan Tuhan memberi saya Otak dan Tenaga untuk bekerja.

Saya memohon Keteguhan hati ... Dan Tuhan memberi saya Bahaya untuk diatasi.

Saya memohon kebahagiaan dan cinta kasih...Dan Tuhan memberikan kesedihan kesedihan untuk dilewati.

Saya memohon Cinta .... Dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk
ditolong.

Saya memohon Kemurahan/kebaikan hati.... Dan Tuhan memberi saya kesempatan-kesempatan.

Saya tidak memperoleh yg saya inginkan, saya mendapatkan segala yang
saya butuhkan.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Air Putih Mbah Dukun

DULU, setiap penyakit, dapat disembuhkan dengan air putih, yang kadang dimanterai. Dukun pun tak punya obat lain kecuali air putih. Dan bukan sihir, bukan teluh, secara ilmiah pun, kini teruji, betapa ampuhnya air putih melawan kanker. Wah!

Dukun, barangkali, akan senang dengan penelitian ini. Bayangkan, ahli gizi dari Seattle, Susan Kleiner, Ph.D., R.D, mengatakan banyak mengkonsumsi air putih dapat mengurangi berbagai macam resiko penyakit berbahaya, seperti kanker kandung kemih, kanker usus besar, dan kanker payudara. Ia memang mengatakan, jika sudah mengidap kanker, jelas air putih saja tak akan dapat menyembuhkan tanpa bantuan dokter. 

Keajaiban air putih itu, telah ia buktikan dalam sebuah penelitian ilmiah di Seattle Fred Hutchinson Cancer Research Center terhadap beberapa wanita yang memang memiliki kecenderungan tinggi untuk terjangkit kanker usus besar. Para wanita yang minum lebih dari lima gelas air putih dalam sehari, risiko menderita kanker usus besar menurun hingga 45 persen, dibandingkan mereka yang hanya minum dua gelas atau kurang dalam seharinya.

Tentu saja hasil penelitian tersebut telah menimbulkan tanda tanya besar dalam pikiran beberapa ahli gizi dunia, mengapa air putih yang secara fisik tidak memiliki kandungan gizi apa pun bisa secara efektif mengurangi resiko penyakit kanker. Setelah diteliti, ternyata air diduga bisa mempercepat perjalanan makanan di dalam usus besar, sehingga kontak yang terjadi antara fecal carsinogens (zat pencetus kanker) dengan dinding usus jadi berkurang.

Kendati begitu, hingga saat ini belum ditemukan teori pasti yang dapat menjelaskan mengapa dengan mengkonsumsi air putih dalam jumlah besar dan teratur, bisa mengurangi resiko kanker payudara. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 99 orang wanita, dimana 44 orang di antaranya menderita penyakit kanker payudara, ditemukan suatu hal yang cukup fantastis. Peminum air yang premenopausal (sebelum masa menopause) ternyata memiliki resiko resiko terkena kanker payudara lebih rendah 33 persen, bila dibandingkan dengan wanita lainnya yang tidak terbiasa minum air putih.

Jadi, jangan ragu, mulailah menenggak air putih, sebanyaknya, seseringnya, ya?

»»  Baca Lebih Lanjut...

Abah Latif

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta di segala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah
Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu ..." Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis
tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu,
Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka
nasta'in ...".

 
Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua
yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar,"
berkata Abah Latif seusai shalat bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam
Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan.
'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang
demikianlah hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain
di dalam hakikat itu."
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang mulut para santri.
"Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak,kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan."
"Belum jelas benar bagiku, Abah."
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan."
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang mulut para santri.
Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas
mengucapkan iyyaka na'budu. KepadaMu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslim masih
belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami
menyembah, na'budu."
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah. Ketika sampai di
kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah,
yakni kahlifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum
Muslim dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam
setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah
memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslim telah membawa urusan
rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala
urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa
mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak
bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi
khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka
nast'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepadaNya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih
banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada
hakikatnya melawan Allah."
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia
yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.
Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupanmu untuk tetap bisa menangis.
Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan
untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepadaNya."
1987.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Mangkuk yang Cantik, Madu dan Sehelai Rambut

  

Rasulullah SAW, dengan sahabat-sahabatnya Abakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., dan 'Ali r.a., bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a. istrinya Sayidatina Fathimah .ha. putri Rasulullah SAW menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut).

Abubakar r.a. berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut".

Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Utsman r.a. berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Ali r.a. berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Malaikat Jibril AS berkata, "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Allah SWT berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

"Sampaikanlah daripadaku walaupun sepotong ayat.." (hadith)

»»  Baca Lebih Lanjut...

Jumat, 12 April 2013

Sebatang Ilalang

Kututup telingaku rapat-rapat. Kutimbuni kepalaku dengan bantal dan selimut. Suara-suara itu masih saja terdengar. Merobek-robek dadaku, memukul-mukul dan mencekik nafasku. Ingin aku menjerit, berteriak dengan sekuat tenaga, namun tiada sepatah katapun yang keluar. Mulutku seakan terkunci, lidahku serasa beku dan mendadak aku seperti orang yang bisu.

“Bagaimana mungkin orang menggembar-gemborkan Alloh. Berteriak-teriak menyebut nama Alloh. Bising! Padahal dia tidak pernah melihat Alloh yang disembah-sembah itu! Lucu!”

“Seperti orang gila saja. Seumur hidupku tak pernah aku dengar orang bertemu dan berbicara dengan Alloh!”

“Ah, itu kan hanya bikinan orang-orang saja. Orang yang bikin tatanan tertentu dan ingin diakui eksistensinya. Tak lebih dari itu.”

“Ya, orang-orang bodoh yang menganggap dirinya pintar. Apa keistimewaannya? Apa kalau sudah bisa yasinan lantas bisa jadi kaya? Itu si Rodin tiap malam jum’at ikut yasinan, hutangnya tak pernah habis, bahkan semakin bertumpuk. Apa pula keistimewaan Qur’an dan Ka’bah itu? Itu sih tidak beda dengan novel atau monumen didepan pasar pon…!”

“Hi..hi..hi..”

“Tidak pernah pula kudengar orang yang dahinya gosong karena mencium sajadah, lantas didepannya tiba-tiba ada sebongkah emas. Hi..hi..hi..”

Astaghfirullah…! Astaghfirullah….! Suara ibu tiriku dan temennya itu benar-benar membuatku pusing dan gila. Tawanya seperti setan yang menusuk-nusuk ulu hatiku. Ya Alloh, apa yang harus kulakukan? Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa.

Sudah berpuluh-puluh kali aku mencoba meyakinkan ibu tiriku. Bahwa Alloh itu ada. Segala kuasa ada ditanganNya. Tapi hasilnya? Nol besar! Usahaku gagal total. Paling-paling malah aku yang ditertawakan, dihina dan diejek. Anak kecil mau mengajari orang tua! Lahir saja baru kemarin sore! Begitu selalu yang dikatakan.

Aku tahu, barangkali Alloh belum membuka pintu hatinya. Tapi sampai kapan? Sekarang ini saja rasanya saya sudah seperti gila bila mendengar ocehannya.

Setiap saat kalau ada waktu senggang, Bu Tati tetangga rumah selalu saja datang. Kalau sudah ngobrol berdua yang dbicarakan selalu saja masalah itu. Dan itu sudah pasti! Apapun yang dibicarakan, pada akhirnya mengarah kesitu juga. Meremehkan, menghina dan meniadakan keberadaan Alloh. Aku yang terlahir sebagai muslim sungguh merasakan sakit dan terhina. Bagaimana mungkin dia berbicara seperti itu. Sungguh terkutuk.

Tapi walau apapun yang terjadi, aku telah bertekad untuk berdiri diatas keyakinanku sendiri. Untunglah diwaktu kecil dulu, ketika ibu kandungku masih hidup, aku sempat mengecap pelajaran keagamaan khusus, disamping belajar disekolah. Pasti ibu menginginkan anak satu-satunya kelak menjadi wanita yang sholehah, serta muslimah yang taat. Dan aku yakin, pendidikan dimasa kecilku itulah yang membuatku tegar memegang keyakinanku walau diombang-ambingkan ibu tiriku dirumah ini.

Namun betapa sakitnya hatiku, ketika ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku untuk memakai jilbab. Aku masih ingat, saat itu aku mengusulkan untuk memakai jilbab dan mengikuti les untuk lebih memperdalam Al-Quran. Apa kata ibu tiriku?

“Apa kau pikir dengan berjilbab semuanya menjadi beres? Lakukan saja kalau kau memang sudah sanggup membiayai sekolahmu sendiri.”

Aku tak mampu membantah. Tapi kalau dipikir, apa sebenarnya salahku? Aku hanya ingin menutup auratku, sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam. Tapi rupanya mereka tak pernah mau mengerti. Dipaksakan kehendaknya terhadapku. Bila dengan cara halus tak mampu, maka dengan kekerasan hingga aku tunduk. Tapi aku selalu mencoba untuk tegar menghadapinya.

Ditengah-tengah kebencian, kemarahan , kekecewaan serta tertekannya perasaanku dirumah ini, aku merasa seperti sebatang kara didunia ini. Sering aku membayangkan, bahwa hidupku tak ubah sebatang ilalang yang tumbuh ditengah-tengah batu padas.

Aku ini hanya sebatang ilalang yang tumbuh dengan sendirinya. Tak pernah tersiram oleh air, tak pernah dipupuk atau disentuh oleh tangan manusia. Dalam kesendiriannya dia harus mempertahankan hidup ditengah kekeringan dan ketandusan.

“Hi..hi..hi…”tawa kedua manusia itu kembali mengusikku.

Ya Alloh, Naudzubillahimindzalik!!! Kalau saja aku mampu, ingin aku membunuhnya. Orang-orang semacam itu sangat membahayakan. Dia bisa mempengaruhi orang-orang yang ada disekitarnya.

Mula-mula keluarga, tetangga lalu masyarakat luas. Kalau sudah begitu, apa jadinya negara Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa ini? Aku yakin, di Indonesia ini masih banyak manusia-manusia sejenis dengan ibu tiriku . Nonsen! Jika dikatakan semua orang di Indonesia ini hati dan jiwanya telah benar-benar mengakui adanya Tuhan. Pasti masih ada segelintir orang yang mencoba untuk mengingkarinya. Dan banyak kulihat buktinya.

“Tari….buatkan Bu Tati kopi. Kamu belum tidur kan?” suara ibu tiriku membuatku terkejut.

Aku masih terdiam. Kulempar bantal yang kupegangi sedari tadi ke pojok ranjang dan kuusap wajahku yang kusut dengan kedua tangan. Lalu dengan berat kulangkahkan kakiku ke dapur. Anganku masih melayang-layang. Apalagi setelah melihat dua sosok manusia yang berbincang dengan asyiknya diruang tengah. Darahku terasa mendidih. Tawanya yang cekikikan seperti setan. Ocehannya yang tak karuan, terus membayang dianganku.

Duk! Glontang…! Aku tersentak dari lamunan. Rupanya kakiku menyandung sesuatu. Kulongokkan kepalaku kebawah meja dapur itu. Sekaleng baygon tergeletak dikaki meja. Kuambil benda itu dan kukencangkan tutupnya.

Tiba-tiba terlintas pikiran buruk dibenakku. Kutimang-timang sekaleng baygon itu ditanganku. Aku akan melakukan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu !

Segera kuambil dua gelas. Kutuangkan kopi serta gula kedalamnya. Tinggal air, dan….Ah, benarkah aku akan membunuhnya? Membunuh? Benar-benar sudah mampukah aku? Bukankah membunuh itu suatu dosa besar yang dilarang oleh Islam? Apakah tidak ada cara lain selain membunuh mereka?

Tidak! Aku harus membunuhnya malam ini juga. Harus! Orang semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup. Ia akan menjadi racun yang amat ganas. Bunuh! Tidak! Bunuh! Tidak! Bunuh! Tidak! Kedua suara hatiku saling berebut untuk menguasai tindakanku selanjutnya.

Tiba-tiba tanpa kusadari, aku telah menuang baygon itu sebanyak dua sendok-dua sendok kedalam kedua gelas. Kemudian kuberi air panas dan kuaduk. Keringat dingin mengalir saat aku mengambil tatakan yang ada di buffet ruang tengah. Tidak! Aku harus sanggup membunuhnya. Orang itu akan mati sekali saja meneguk kopi yang kuhidangkan.

Grobyak! Cring…cring….suara dari dapur membuatku terkejut. Dengan sedikit cemas, perlahan-lahan kulangkahkan kakiku kedapur. Baru saja tiga langkah, tiba-tiba…cring…suara gelas pecah itu kembali terdengar. Kini langkahku terhenti, apa ada seseorang yang mengetahui perbuatanku? Tapi, benarkah? Tidak! Apapun yang terjadi aku akan hadapi.

Dengan ragu, kuteruskan langkahku yang tinggal sekitar tiga meter kedapur. Mula-mula dengan gemetar kuintip didalam dapur. Tidak ada orang. Gelasnya juga tidak ada diatas meja. Setelah yakin tak ada orang, kuberanikan diri memasuki dapur. Dan….Ya ampun! Aku melotot melihat apa yang terjadi.

Gelas beserta isinya itu telah jatuh berserakan didekat kaki meja. Seekor kucing mengendus-endus pecahan gelas-gelas itu. Aku terdiam sesaat. Tanganku mengelus kucing yang malang itu. Melihat kehadiranku, kucing itu melompat meninggalkan aku , lalu menghilang entah kemana.

Astaghfirullah….! Astaghfirullah…! Kuusap mukaku dengan kedua tangan. Berulangkali kubaca istighfar. Tiba-tiba badanku lemas, aku seperti terbangun dari mimpi buruk. Ya alloh, apa yang sebenarnya terjadi? Kau kirimkan kucing itu untuk menyadarkanku. Terimakasih ya Alloh…

Tiba-tiba air mataku menitik. Anganku melayang pada ibu yang telah tiada. Ya Alloh, aku pasrah pada kebesaranMu. Apapun yang dilakukan ibu tiriku, Engkaulah yang berhak menghukumnya. Aku sadar, aku hanya manusia biasa sebagaimana ibu tiriku, yang tak berhak menghukum sesamanya. Kalau masih mungkin, bukakan pintu hatinya yang telah berkarat itu, tapi kalau tidak, hukumlah dia setimpal dengan perbuatannya.

Aku yakin, hanya engkau yang maha tahu apa yang terjadi pada setiap makhlukMu. Kuserahkan segalanya pada kebesaranMu, ya Alloh. Dan biarkanlah sebatang ilalang ini tetap tumbuh dengan sendirinya dibawah bimbinganMu.

Perlahan aku berdiri. Kubuat dua gelas kopi manis dan kuhidangkan untuk ibu tiriku dan temannya. Setelah membersihkan lantai dan membuang pecahan gelas, aku bergegas ke sumur.

Di luar rembulan bersinar terang. Kutengadahkan wajahku menatap kebesaranNya. Angin malam berhembus pelan ketika kubasuh wajahku dengan air wudlu. Segar. Aku harus segera bersujud, aku belum sholat isya’.

--ooo—

»»  Baca Lebih Lanjut...

Lonceng Gereja Di Antara Gema Adzan

'Tahu nggak? Kerusuhan di Ambon kembali marak!' tulis email yang saya terima hari itu. Hati ini kembali sedih. Konflik yang satu belum selesai, sudah disusul oleh lainnya. Tugas yang satu belum rampung digarap, persoalan lain menuntut penanggulangannya.

Kini, persoalan nyawa manusia-manusia yang tidak berdosa sepertinya menjadi bahan mainan. Rakyat kecil hampir selalu begitu nasibnya. Identik dengan penderitaan. Ambon, yang konon terkenal sebagai Ambon Manise, sekarang melegenda menjadi 'Ambon Bahaye!'.

Berbagai macam teori dipaparkan untuk menganalisa apa yang melatar-belakangi segala bentuk bentrokan yang tak kunjung usai ini. Ada yang bilang, peperangan itu terjadi atas nama mereka yang ingin memisahkan diri dari kedaulatan Republik Indonesia (RI). Ada pula yang mengatakan peristiwanya didukung oleh kelompok Republik Maluku Selatan yang pentolannya bermarkas di Belanda. Ada juga yang mengemukakan bahwa perang tersebut dalam upaya melenyapkan Umat Islam yang konon, adalah 'pendatang' disana. Tiga teori sudah! Mana yang tepat? Wallahu'alam!

Reaksinya pun bermacam-macam. Ada yang langsung menyalahkan pihak A sebagai provokator. Mereka yang pro Negara Kesatuan RI menyalahkan pihak B terlalu lemah dalam menangani perayaan peringatan RMS. Pihak Kristen menuduh ada upaya-upaya pihak C melakukan genocide di Maluku. Ada sebagian pula yang mengatakan ada pihak D yang sengaja membakar semangat kedua pihak (Kelompok Merah dan Kelompok Putih) agar perang lagi. Empat kemungkinan penyebab sudah! Mana yang benar? Wallahu'alam!

Perangpun belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bukan saja gedung-gedung, rumah, perabotan, jalan-jalan serta segala harta benda dan fasilitas umum lainnya telah rusak dibuatnya. Korban bergelimpangan layaknya ikan-ikan laut yang biasa berjajar di pantai indah Ambon. Hanya dalam hitungan detik, ratusan manusia-manusia Ambon, ditengah teriakan histeris dan jeritan beringas, ada yang sekarat, ratusan yang mengalami luka-luka, hingga meninggal sia-sia. Persis keadaannya seperti ribuan ikan yang setiap harinya dijaring oleh para nelayan-nelayan Ambon. Ketika ikan-ikan sudah dikumpulkan di tepi pantai, kondisinya tidak lebih dari saudara-saudara kita yang sedang menghadapi konflik sekarang ini. Bedanya, ikan-ikan tadi tidak ada satupun yang dikirim ke rumah sakit, mendapatkan pengobatan, injeksi, infus, apalagi sampai dijahit lukanya segala.

Ambon, apa yang kau cari?

Adalah Sidiq, salah seorang rekan, suatu hari di akhir pekan datang berkunjung ke apartemen kami. Bersama dia, seorang lelaki kurus, kecil, masih muda. "Jason!" katanya datar ketika saya berjabatan tangan dengannya. Dari namanya sudah bisa ditebak. Bukan orang Islam.

Kebetulan hari Jum'at waktu itu. Sekedar diketahui, Jum'at di negara-negara Arab sama dengan Ahad di Indonesia. Hari libur. Kaum Kristiani menyesuaikan waktu kebaktiannya dengan hari libur disana. Jadi jangan pernah menyangka bahwa Minggu (Baca: Ahad) adalah hari berdoa mereka. Di Arab, hari Jum'at kaum Kristiani ke gereja. Jadi wajar saja jika pada hari Jum'at kita menanyakan kepada mereka apakah ke gereja atau tidak. Pertanyaan yang sama saya kemukakan kepadanya "You went to church this morning Jason?" kataku sambil lalu, ketimbang tidak ada pembicaraan sama sekali. Toh dia adalah tamuku. Apa salahnya? "Yesss...!!" bukannya Jason yang menjawab, namun Sidiq. Si Jason hanya tersenyum. "Aku yang membangunkannya tadi pagi!" jelas Sidiq.

Sidiq dan Jason bekerja di satu instansi, Jason sebagai teknisi komputer dan Sidiq sebagai seorang akuntan. Mereka juga kos di satu apartemen. Sidiq yang Muslim dan Jason seorang Kristen. Namun keduanya akrab.

Ketika Imam masjid sebelah gedung kami mengumandangkan Iqamah, saya bilang sama si Jason: "Jason, we are going to masjid!" diteruskan oleh Sidiq, "Not long. Only ten minutes. You stay here please!" ada nada saling menghargai. Tanpa menyepelekan dia sebagai seorang penganut agama lain, namun juga tidak mengorbankan keyakinan hanya karena persoalan teman. Bila sholat tiba, pisah!

Sidiq bukan satu-satunya kenalan saya yang berteman dengan seorang Kristen dengan jalinan yang baik. 'Habluminannas...' hubungan baik sesama manusia. Zahoor dengan Ivan, Hassan dengan Oswold, Ida dengan Gerarda. Dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud membanggakan diri mereka sebagai Muslim yang baik, mereka bukan Islam KTP atau abangan. Jadi, melihat apa yang terjadi di Ambon, sungguh membuat hati ini perih.

Bagaimana tidak perih, jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memutarbalikkan fakta. Sejarah Islam di Tanah Air Indonesia membuktikan bahwa kaum Muslimin tidak memiliki sejarah dimana harus memaksakan kehendak terhadap kaum minoritas. Justru sejarah telah menunjukkan karena kebesaran jiwa kaum Muslimin Indonesia lah kaum minoritas di negeri ini menjadi terlindungi. Contoh yang paling konkrit adalah bagaimana orang Islam berkorban untuk menerima UUD 1945, bukannya Piagam Jakarta. Sebuah pengorbanan yang tidak kecil! Kamu minoritas pun bersorak. Tanda 'kemenangan'?

Saya jadi ingat akan sikap Rasulullah Muhammad SAW terhadap kaum kafir Quraysh dalam Perjanjian Hudaibiyah. Dalam buku yang berjudul 'Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW' karya HMH Al Hamid Al Hussaini (1997), ketika perjanjian itu hendak dituangkan dalam bentuk tertulis Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib r.a. supaya menulis kalimat 'Bismillahir Rahmannir Rahim'. Mendengar penuturan tersebut, Suhail bin Amr, wakil musyrikin Quraysh, cepat-cepat menukas 'Demi Allah, kami (kaum musyrikin Quraysh) tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan Ar Rahman. Tuliskan saja "Bismika Allahumma (Dengan namaMu ya Allah)". Kaum Muslimin yang mendengar usulan tersebut serentak mengatakan "Tidak!" Namun apa kata Rasulullah SAW: "Tuliskan Bismika Allahumma". Kemudian beliau SAW melanjutkan lagi "Kemudian tuliskan: inilah yang telah diputuskan dan disetujui oleh Muhammad Rasulullah!"

Demikian pula ketika persoalan kata Rasulullah muncul, Suhail kembali keberatan karena orang kafir Quraysh tidak dapat menerima Muhammad sebagai Rasulullah, kecuali Muhammad Bin Abdullah. Rasulullah pun pada akhirnya tidak keberatan. Hingga suatu saat Umar bin Khatab r.a. sempat bertanya: "Ya Rasulullah adakah ini suatu kemenangan?" "Ya!" jawab Rasulullah SAW. Identik dengan Piagam Jakarta dan UUD 1945?

Begitulah. Umat Islam seringkali dihadapkan pada masalah-masalah dimana harus mengambil posisi yang rumit sekali. Seperti halnya yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, semoga pemimpin-pemimpin bangsa kita pada tanggal 18 Agustus 1945 dulu diilhami oleg suri tauladan Rasulullah SAW. Berkorban demi kemenangan!

Kisah Perjanjian Hudaibiyah ini memegang peranan yang penting sekali dalam sejarah strategi kaum Muslimin. Jumlah mereka yang waktu itu tidak melebihi 1500 orang (manurut Riwayat Jabir r.a), dua tahun kemudian, ketika beliau berangkat ke Mekkah untuk merebut kota itu secara damai, jumlah kaum Muslimin sudah mencapai 10.000 orang. Dibawah Pemerintahan Islam, Mekkah dan Madinah mencapai puncak demokrasinya. Kaum minoritas waktu itu bahkan turut menikmati kejayaan Islam, tanpa harus menjadi Muslim. Rasulullah SAW malah menganjurkan kaum kafir ini tetap dilindungi.

Apa yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, alhamdulillah tetap dijadikan suatu percontohan. Hingga saat ini, dimana Islam menjadi mayoritas, kaum minoritas bisa hidup dengan aman dan tenteram di banyak negeri. Tentu saja ada perkecualian dimana konflik eksis, kriminalitas ada dimana-mana. Tapi seberapa besar prosentasinya? Kaum Muslimin, tidak akan 'menggigit' jika tidak diganggu.

Negara tetangga kita, Malaysia misalnya, dalam naungan Islam, orang diluar Islam baik itu Hindu, Budha maupun Kristen, bisa menikmati kemajuan dan perkembangan negara tersebut yang sudah tentu amat menguntungkan posisi mereka. Di negara-negara Arab, bukankah sudah cukup bukti bahwa dengan penerapan hukum Islam angka kriminalitas terbukti paling sedikit di dunia. Jika sekiranya tinggal di negara-negara Arab ternyata tidak aman, kenapa prosentase ekspatriat misalnya di Kuwait, atau UAE justru lebih besar dibanding penduduk mereka sendiri. Dan jangan pernah mengira bahwa para pendatang ini orang Islam semuanya. Tidak sedikit yang Hindu, Kristen, Budha hingga Kong Hu Chu!

Suatu hari datang email lagi dari orang yang tidak saya kenal menyatakan bahwa di Saudi Arabia penuh pelanggaran hak-hak azazi manusia, para pembantu (PRT) (maaf) diperkosa, tidak dibayar, disiksa, dsb. Saya tidak menutup mata bahwa kejadian tersebut ada. Jangankan di Saudi, di negara kita saja pelecehan yang serupa juga acapkali terjadi. Hanya saja, kalau kita tahu jalur hukum, orang Saudi juga tidak bisa berbuat sesuka mereka. Dalam pandangan hukum disana, semua orang sama kedudukannya. Setiap hari Jumat misalnya ada saja orang yang dihukum penggal kepala atau rajam, tanpa melihat apakah mereka penduduk Saudi asli atau tidak, Muslim atau Kristen, semuanya sama!

Melihat sebuah gereja yang terletak tidak jauh dari kediaman saya, jadi teringat akan peristiwa Ambon. "Ada apa dengan Indonesia? Perang Islam-Kristen ya?" pertanyaan serupa mengalir begitu saja dari mulut-mulut yang saya kenal. Saya bersyukur nama baik kaum Muslimin di Indonesia tidak seburuk yang disangka orang-orang RMS. Dunia tahu dalam sejarah perkembangan Islam di negeri ini tidak ada campur tangan kekerasan. Jadi email seseorang yang tidak saya kenal yang mengemukakan bahwa ada proses Islamisasi di Maluku dan Timor Timur tidak berdasar.

Dalam bukunya 'The Spread of Islam in the World: A History of Islamic Peaceful Preaching', Professor Thomas Arnold (2001), menyebutkan bahwa sejak permulaannya Islam masuk bumi Nusantara, waktu itu masih dibawah naungan Kerajaan Majapahit, Raja dan Ratu Champa, meskipun mereka tidak memeluk Islam, namun menerima kedatangan seorang keturunan Arab, Sheikh Maulana Jumada Al Kubra, yang memperkenalkan misi Islam kepada masyarakat pagan di wilayah Ampel-Gresik (Jatim). Bahkan beliau mendapatkan ijin dari Raja Majapahit, hingga waktu itu mencapai 3000 keluarga yang masuk Islam. Dari sinilah kemudian Islam berkembang secara luas di bumi ini. Tanpa paksaan, tanpa kekerasan. Demikian kata profesor asal Inggris yang pernah mengajar di Aligarh (India, 1896) dan Lahor-Pakistan itu.

Kembali saya melihat gereja tadi. Terletak di pinggir jalan, tepatnya berhadap-hadapan dengan sebuah masjid di lungkungan Sudanese Club. Orang-orang Kristen disana tidak pernah terganggu ibadahnya. Hari Natal misalnya, meski secara nasional Natal dan Paskah tidak diakui oleh Pemerintah negara-negara Arab, biasanya perusahaan mereka memberikan ijin untuk kerja misalnya hanya sampai jam 9 pagi saja. Tidak sedikit yang diberikan libur. Orang-orang Kristen diberikan hak-hak dan kedudukan yang sama dengan kaum Muslimin, bahkan kalau sudah persoalan Natal dan Paskah itu, mereka dilebihkan kan? Selama bulan Puasa Ramadan mereka hanya kerja 5 jam, dan libur panjang pada hari Idul Fitri dan Idul Adha sebagaimana orang-orang Islam.

Dengan demikian, mana negara di dunia yang memberlakukan masyarakatnya sebagaimana negara-negara Arab memperlakukan orang-orang non-Muslim? Adakah orang-orang Islam di dunia yang mendapatkan perlakukan se-fairsebagaimana orang-orang Kristen diperlakukan di negara-negara Islam? Dentingan lonceng gereja mungkin saja memang tidak terdengar di negeri Arab. Namun kaum Kristiani bebas beribadah ditengah-tengah gaung Adzan dimana-mana, dengan tanpa merasa khawatir diganggu.

Ambon...

Luasmu tidak seberapa seberapa dibandingkan dengan Indonesia secara keseluruhan. Tapi umat Islam yang ada di daerahmu tidak henti-hentinya menghadapi cobaan yang amat besar. Namun percayalah, bahwa Islam bisa selalu tumbuh dan besar karena berbagai cobaan. Dan itu terjadi tidak hanya di bumi Ambon saja, malah sejak jaman Rasulullah SAW. 'Telah Kami limpahkan kepadamu (hai Muhammad) suatu kemenangan nyata; Allah mengampuni kekeliruanmu yang telah lalu dan yang akan datang, dan Allah akan mencukupkan karuniahNya kepadamu serta membimbingmu ke jalan yang lurus, dan hendak menolongmu dengan pertolongan sekuat-kuatnya' (QS Al-Fath: 1-3).

»»  Baca Lebih Lanjut...

Bakti Sepeda Jengki

Hari masih pagi. Matahari hangat menyentuh kulit, sinarnya menyusup di setiap celah, memberikan warna-warni indah. Aku sudah rapi, mengenakan setelan rok dan blus denim favoritku, berkerudung ceria bunga-bunga plus sepatu andalanku. Aku bermaksud mengunjungi para pakde dan eyang di kampung sebelah.

Namun niat silaturahmiku terganjal. Aku tidak kebagian alat transportasi. Dua motor dan satu sepeda mini telah beranjak dari garasinya. Yang tersisa hanya sebuah sepeda jengki jelek. Teronggok pasrah di pojok ruangan. Waduh, bagaimana ini? Ya sudahlah, yang penting niat silaturahmi terpenuhi. Maka kutuntun sepeda itu ke halaman, ku lap debu di badannya seadanya dan kunaiki sepeda itu dengan gembira.

Di perjalanan aku terkikik geli, membayangkan tatapan orang-orang: seorang gadis berpakaian funky, menaiki sepeda butut. Tapi sekali lagi aku menghibur diri, ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Sambil menikmati pemandangan dan udara pagi, aku terus menggenjot pedal sepeda, menyusuri jalanan yang membelah sawah. Tiba-tiba seekor kambing berlari melintas. Aku terkejut dan cepat-cepat meraih kedua rem di stang. Tapi Oo, sepeda tetap meluncur dan aku pun membanting stir hingga…Gubrak! aku dan sepeda terperosok ke selokan kering di sisi jalan. Aku bangkit sambil meringis. Untung tak ada yang terluka, hanya kotor tanah menghiasi pakaianku.

Sejenak kemudian, aku memeriksa sepeda. Ternyata, sepeda itu sudah tidak ada kawat remnya. Hanya tinggal gagangnya saja. Akhirnya, aku bangkit lagi, meneruskan perjalanan dengan lebih hati-hati. Meski tanpa rem.

*****

Kepada bapak dan ibu, sesampai di rumah, aku bertanya, mengapa sepeda jengki tua itu tidak dijual saja? Toh tidak ada yang menggunakannya di rumah saat aku sedang di Jakarta. Dua motor dan satu sepeda mini sudah cukup untuk anggota keluarga kami yang hanya tiga orang. Daripada makin rusak, karatan karena tidak pernah digunakan, hanya dionggokkan di pojok ruangan.

Tapi ibu bilang jangan. Sepeda itu memiliki sejarah yang panjang dan memiliki makna tersendiri.

“Sejarah yang manakah itu, Bu?,” tanyaku.

“Tidakkah kau ingat, anakku. Sepeda itu yang mengantarkanmu ke sekolah waktu SMP dulu? Juga sebagian dari waktu SMA-mu?”

Pelan-pelan, komentar ibu mengembalikan ingatanku tentang sepeda itu. Ya, sepeda jengki yang kinin nampak tua, catnya mengelupas di sana-sini. Asesorisnya pun sudah tidak ada. Tanpa rem, tanpa lampu, tanpa gembok, tanpa bel. .Hanya kerangkanya saja yang tinggal. Sepeda ini dulu bagus. Kata orang, asli RRT. Ah, benarkah ini sepedaku yang dulu mengantarku ke sekolah? Sepeda hadiah kelulusanku sebagai juara umum di SD, dan mengantarkanku jadi satu-satunya anak dari desaku yang bersekolah di SMP faworit di kota.

Segenap kenangan itu mengalir lagi. Dulu, jam setengah enam pagi, aku sudah mengayuh pedal sepeda itu, menembus kabut, menyusuri jalan-jalan desa menuju SMPku di kota. Terbayang kembali, saat-saat aku mengayuhnya, menempuh hujan dan badai di musim hujan, hanya bertutupkan mantel yang dibuat ibuku dari plastik lebar, hingga aku sering di ledek ‘kerupuk-kerupuk!’. Sepeda ini dulu yang menemaniku pulang sekolah, berlomba bersama teman-temanku. Sepeda ini pernah membuatku jatuh karena bergurau dengan teman di jalan. Sepeda ini juga yang mengantarku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, membelah petang saat sendirian pulang dalam gelap. Sepeda ini begitu akrab setiap inci bagiannya bagiku hingga aku bahkan dapat menyetirnya tanpa memegangi setang. Sepeda ini pernah kuabaikan sekian lama, saat demam sepeda federal mewabah, namun akhirnya dengan setia menemaniku lagi karena sepeda federal palsuku begitu cepat rusak.

Sepeda ini masih pula menemani masa-masa SMAku. Kenangan saat aku menempuh bulak (jalan panjang di antara hamparan sawah, jauh dari pemukiman) dengan lampu mati ternyata masih sangat nyata tersimpan di memori. Bagaimana ia mengantarku pulang dalam gelap, menghindari lobang-lobang besar di sepanjang perjalanan. Sepeda ini pula yang masih tetap menemaniku, saat kemudian aku memilih kos ketika SMA. Dia mengantarku ke pengajian, mengantarku bimbingan belajar dan mengantarku menjalani aktifitas ekstra kurikuler maupun kegiatan ekstra sekolah yang mulai kurambah. Dengannya aku menjelajah setiap sudut kota Solo jika aku sedang bosan, termasuk mengunjungi perpustakaan daerah yang jaraknya cukup jauh.

****

Kuperhatikan lagi, sepeda itu sudah sangat tua. Lebih dari 15 tahun usianya. Namun ternyata baktinya belum usai. Saat ini, selain kadang digunakan ibu untuk pergi ke sawah, sepeda itu sering dipinjam kaum kerabat yang kebetulan membutuhkan. Pada waktu-waktu tertentu juga digunakan oleh sepupu-sepupuku untuk pergi sekolah, seperti sepeda-sepeda saya lainnya.

Saya merasa belajar banyak dari sepeda jengki tua itu. Belasan tahun, mungkin sepanjang masa pakainya, si sepeda telah memberikan manfaat bagi tak terhitung orang. Si sepeda telah berbakti sepanjang hidupnya, tanpa keluh kesah, dan tanpa pernah mendapat pujian. Namun ia tetap menebar manfaat. Bagaimana dengan saya? Kita? Sepanjang usia yang telah saya lalui, adakah saya telah memberi manfaat bagi agama, keluarga dan masyarakat tanpa henti. Wallahu a’lam bishshawwab.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Duapuluh Satu Kali

“Dua puluh satu kali, Mbak?” mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun, Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut.

“Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu, tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan luka apalagi derita.

“Mbak… ehmm, maaf, tidak patah arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih. Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak trauma dengan masalah itu.

“Kalau sedih, kecewa, terluka… pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga.
Nyaris putus asa juga pernah. Namun alhamdulillah tidak berlarut-larut.”

Mata itu berbinar-binar, seakan turut bicara.

“Justru, kini saya merasa lebih dewasa, lebih matang dengan semua kegagalan itu. Banyak sekali pelajaran yang bsia diambil dari tiap kegagalan itu. Saya menjadi lebih bisa mengerti berbagai karakter manusia. Saya dapat lebih menghayati realitas dan kuasa Allah atas hidup kita. Dan pasti jadi lebih banyak pengalaman… setidaknya pengalaman proses menuju nikah hingga 21 kali..hahaha,” dia tertawa lepas. Renyah. Manis sekali.

Perempuan itu, kini sudah 30 tahun lewat usianya. Sebuah usia yang tak lagi remaja memang. Sebuah usia yang sangat wajar dan pantas jika ia resah karena jodoh tak kunjung tiba. Namun ia tak nampak panik atau gelisah. Bisa jadi ia memang pandai menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Namun saya lebih percaya ketenangannya tumbuh karena kematangan dan keimanan.

Gadis ini dapat dikatakan sederhana. Dengan penampilan sederhana pula. Aktifitasnya pun bersahaja walaupun dulunya dia termasuk aktifis tingkat tinggi. Sehari-hari ia bekerja sebagai staf pengajar di sebuah lembaga pendidikan. Aktifitasnya yang lain adalah mengajar TPA, mengikuti pengajian rutin maupun berbagai pengajian umum yang banyak diselenggarakan oleh berbagai lembaga di berbagai lokasi di Jakarta.

Selebihnya ia lebih banyak di rumah. Membaca buku dan membantu mengurus pekerjaan rumah tangga karena Ibunya tidak memiliki pembantu. “Proses pertama saya jalani ketika saya baru menyelesaikan kuliah saya. 22 tahun usia saya ketika itu. Waktu itu tentu saja saya tidak sebersahaja sekarang.” Dia mulai bercerita. Saya menunggu.

"Saya masih ingat sekali. Waktu itu saya mengajukan berbagai kriteria. Saya ingin calon suami yang sarjana, pekerjaan mapan, aktifis dakwah atau minimal memiliki pemahaman agama yang bagus, dari keluarga baik-baik, dan sama-sama orang jawa seperti saya. Sebuah kriteria yang saya rasakan konyol sekarang, namun dulu saya pikir itu wajar. Muslimah mana yang tidak memiliki idealisme seperti itu?"

Ia melanjutkan ceritanya...

"Ada beberapa orang yang ditawarkan oleh guru ngaji maupun oleh orang tua. Ada juga yang datang sendiri. Tetapi semua saya tolak. Saya pikir waktu itu saya masih muda. Saya isa mengisi maa muda saya dengan berbagai aktifitas positif sambil terus menunggu seseorang yang mendekati kriteria yang saya inginkan. Maka saya pun mulai memperbanyak aktifitas. Mengambil banyak kursus, mengikuti bebagai pelatihan dan aktif di beberapa komunitas sosial kemasyarakatan."

"Usia saya menjelang 25 tahun ketika saya menemukan seseorang dengan kriteria seperti yang saya inginkan. Awalnya proses kami lancar-lancar saja. Orang tuanya bahkan sudah datang mengkhitbah ke rumah. Bahkan kita sudah akan menentukan tanggal pernikahan. Tapi oleh alasan yang sepele, tiba-tiba orang tuanya membatalkan khitbah. Sungguh saya shock waktu itu. Saya tak habis mengerti, apa yang salah dengan saya, dengan dia dan dengan proses kami?"

"Cukup lama saya tenggelam dalam kesedihan. Beberapa waktu kemudian sebenarnya banyak lagi yang mengajukan tawaran. Tapi saya selalu membandingkan dengan mantan calon suami saya. Saya menggunakan parameter dia untuk menilai setiap orang yang datang pada saya. Meskipun saya tidak pernah menolak lagi orang-orang yang datang kemudian itu, tapi entah mengapa proses selalu berakhir dengan kegagalan. Saya tak lagi menghitung, itu sudah yang keberapa kali. Akhirnya saya kembali menenggelamkan diri dalam aktifitas sosial dan organisasi. Saya aktif di partai. Dan saya sempat tak lagi memedulikan masalah menikah."

"Usia saya sudah lewat dua puluh tujuh. Justru orang-orang lain yang mulai ribut. Orang tua terutama. Kemudian kaum kerabat. Juga teman-teman saya. Merekalah yang kemudian menawarkan dan mencomblangi. Saat itu saya mulai belajar dari pengalaman. Saya tak lagi terlalu idealis. Saya menyerahkan saja kepada para perantara saya itu. Saat mereka meminta biodata, maka saya berikan biodata saya. Saya netral saja. Kalau diterima ya syukur, tidak diterima ya sudah. Dan ternyata nyaris semua tidak diterima. Alasannya macam-macam. Kebanyakan bahkan saya tak sampai ketemu mereka, sudah ditolak duluan. Saya sudah tak menghitung lagi berapa banyak biodata yang saya buat. Rata-rata tidak kembali."

"Usia saya sudah lewat dua puluh delapan tahun saat saya menyadari bahwa saya harus mulai proaktif. Saya tak lagi menyerahkan begitu saja pada nasib atau teman-teman. Saya harus mulai mencari sendiri juga. Tentu saja tetap dengan cara-cara yang ahsan."

"Pada usia ke-29 saya menemukan seseorang lagi. Dia sholeh. Sederhana. Jauh dari kriteria ideal saya, tapi saya merasa tenteram dengan menerimanya. Proses kami pun sederhana. Semuanya lancar. Tapi…Allah berkehendak lain. Calon saya meninggal dalam sebuah kecelakaan."

Sampai disini si Mbak menghentikan ceritanya sejenak. Mengambil napas panjang dan menyusut sudut mata. Aku turut terenyuh mendengarnya. Saat itu baru kulihat kabut selintas menghiasi wajahnya.

"...Semua sudah berlalu sekarang. Sudah nyaris dua tahun lalu. Saya mencoba bangkit lagi. Setahun terakhir, lima proses saya jalani. Menambah 16 proses sebelumnya yang tak semuanya saya ingat lagi. Lima proses itu saya jalani dengan lebih pasrah. Lebih lapang dada. Saya menghargai mereka masing-masing. Saya tidak membanding-bandingkan. Saya tak lagi menggebu, tak lagi sangat idealis…. tapi juga tak membuat saya membabi buta, menerima siapa saja seperti membeli kucing dalam karung."

"Satu orang gagal sebelum biodata saya sampai kepadanya. Dia sudah lebih dulu menerima orang lain. Orang kedua, pemuda yang biasa-biasa saja, tak mau menerima syarat saya untuk belajar ngaji pada teman saya sesama laki-laki. Dia memaksa belajar pada saya dan mendesak agar saya jadi pacarnya dulu. Orang ketiga, menolak karena orang tuanya tidak mau menerima orang yang tidak sesuku dan dia ingin menuruti kehendak orang tuanya. Orang keempat, teman saya sendiri, mengatakan kalau dia belum siap meski tidak menolak. Orang kelima berubah pikiran di tengah proses. Tadinya dia tidak mempermasalahkan usia saya yang lebih tua, tetapi kemudian dia mengatakan kepada perantara saya ingin mencari yang usianya lebih muda."

"Pengalaman-pengalaman yang saya jalani selama ini telah memberi banyak sekali pelajaran dalam hidup saya. Satu, bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.
Dua, bahwa pengalaman adalah benar-benar guru yang sangat berharga. Tiga, bahwa setiap orang benar-benar memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mereka semua layak untuk mendapat penghargaan sebagai seorang manusia. Empat, jika saya tak dapat memperoleh apa yang saya cintai, maka lebih baik saya mencintai apa yang saya telah saya peroleh dan memiliki. Lima, dan banyak lagi. Intinya, jika memang bukan jodoh, bahkan hal-hal kecil pun dapat menjadi penghalang dan penyebab gagalnya perjodohan."

"Kini saya merasa lebih pasrah dan arif menyikapi hidup. Tak ada yang salah, tak ada yang ribet. Hanya waktu yang belum tiba pada masanya. Hanya puzzle yang belum menemukan pasangannya. Semua masih biasa saja."

Si Mbak mengakhiri ceritanya. Tersenyum tulus kepadaku. Aku menyambutnya. Dan kami tenggelam dalam dekap haru. Pelukan persaudaraan.

»»  Baca Lebih Lanjut...