Minggu, 28 September 2014

Segiempat Anak-anak


Suatu sore, seorang ibu duduk membantu anak-anaknya belajar. Dia memberi si bungsu yang baru berusia empat tahun sebuah kertas gambar agar dia tidak mengganggunya saat menerangkan dan membimbing saudara-saudaranya yang lain.
Tiba-tiba dia teringat, dia belum mengantar makan malam kepada sang mertua, seorang kakek tua yang hidup bersama mereka di kamar di samping rumah. Dia biasa melayani mertuanya semampunya dan sang suami puas dengan pelayanannya kepada sang mertua yang tidak bisa meninggalkan kamarnya karena kesehatannya lemah.
Ibu itu segera membawa makanan kepada sang mertua dan menanyainya, apakah sang mertua butuh pelayanan yang lain? Kemudian dia berlalu meninggalkan mertuanya.
Ketika dia kembali ke tempat anak-anaknya belajar, dia melihat si bungsu menggambar beberapa lingkaran dan beberapa kotak segi empat serta memberinya kode. Sang ibu pun bertanya, “Sayang, apa yang kamu gambar?”
“Aku menggambar rumah tempat aku tinggal ketika sudah besar dan menikah,” jawabnya dengan polos.
Sang ibu senang mendengar jawaban anaknya, “Terus dimana kamu akan tidur?” tanyanya lagi.
Lalu sang anak menunjuk setiap kotak segi empat, “Ini ruang tidur, ini dapur,dan ini ruang menerima tamu.” Dia terus menghitung setiap kamar rumah yang dia ketahui. Dan, dia meninggalkan satu kotak kosong terpisah di luar garis yang dia gambar.
Sang ibu heran. “Terus, kenapa kamar ini berada di luar rumah dan terpisah dari kamar yang lain?” tanyanya.
“Kamar ini untuk ibu. Aku akan menaruhmu di sana dan kamu hidup seperti kakek,” jawabnya.
Ibu itu tertegun mendengar jawaban anaknya.
“Apakah aku akan tinggal sendirian di luar rumah di kamar samping tanpa bisa bercengkerama dengan anak dan cucu. Serta tidak terhibur oleh obrolan, canda dan permainan mereka saat aku tak bisa bergerak lagi?”
“Apakah aku akan menghabiskan sisa umurku sendirian di kamar kosong, tanpa bisa mendengar suara anggota keluarga yang lain?”
Dia segera memanggil pembantu dan dengan cepat dia memindah peralatan kamar yang dikhususkan untuk tamu, kamar yang biasanya paling bagus dan strategis. Dia membawa ranjang mertuanya ke sana dan memindahkan peralatan yang khusus tamu ke kamar sang mertua di samping rumah.
Kala sang suami pulang dari luar, dia kaget dan heran dengan apa yang dia lihat. Dia pun lantas bertanya, “Kenapa kok bisa berubah begini?”
Sang istri menjawab dengan air mata berderai, “Aku memilih kamar yang paling bagus tempat kita akan tinggal, aku dan kamu, apabila Allah SWT memberi kita umur panjang dan kita sudah tidak bisa bergerak lagi. Biarlah tamu ada di kamar samping.”
Sang suami paham dengan maksud sang istri dan dia memuji perlakuannya kepada ayahnya yang memandangi mereka dengan penuh kasih sayang.
Si bungsu pun ikut senang dan dia hanya tinggal menghapus gambarnya sambil tersenyum.

Dari kisah di atas kita bisa menggambil hikmah bahwa segala yang kita perbuat dan ajarkan pada anak kita kelak akan membawa dampak bagi diri kita. Saat kita mengajarkan anak tentang suatu kebajikan, maka sang anak pun akan berusaha untuk meniru dan mengamalkannya dalam kehidupannya sehari2. Namun apabila kita berbuat suatu keburukan, bisa jadi keburukan itu pun kelak akan ditiru pula oleh anak kita.
Sebaik2nya orang tua adalah mereka mengajarkan kebaikan pada anak2nya. Karena sesungguhnya anak sholeh merupakan harta yang bisa menolong kita di akhirat kelak.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kisah Seorang Gadis dan Seorang Kakek

kisah nyata yang terjadi di salah satu kota di Aljazair beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, orang-orang masih sering memperbincangkannya dan bertanya-tanya, kemana kembalinya tokoh cerita mereka yang tiba-tiba meninggal menemui Tuhannya?
* * * *
Hari itu tidak seperti hari-hari biasanya, udara sangat panas menyengat ubun-ubun. Seperti biasanya, gadis itu keluar rumahnya dengan dandanan dan parfum yang menyengat. Banyak orang tua yang tergoda memandangnya, apalagi kaum muda yang pekerjaannya hanya menggoda para gadis. Gadis itu senang dengan perbuatannya. Bagaimana dia tidak senang, semua orang memandang kagum kepadanya.
Gadis itu naik ke atas bus yang penuh dengan penumpang. Kemudian dia dipersilakan duduk oleh seorang pemuda. Gadis itu duduk di samping seorang kakek yang sudah lanjut usia. Wajah orang tua itu memancarkan sinar, Allah mengaruniakan ilmu yang melimpah kepadanya. Kakek itu menasihati gadis itu dan mengingatkannya terhadap Hari Kiamat, Hisab, dan Siksa Allah. Dengan harapan semoga gadis itu mendengarkan nasihatnya dan mendapat hidayah dari Allah ke jalan yang lurus.
Gadis itu menertawakan sang kakek, bahkan dia berani mengejek Allah-wal ‘iyadzu billah. Kakek itu masih terus mengajaknya kepada ketaqwaan dan tobat. Gadis itu mulai kesal dengan sikap sang kakek. Dia kemudian mengeluarkan HP dari tasnya, “Pegang HP ini dan bicaralah dengan Tuhanmu, mengadulah kepada-Nya,” kata sang gadis sambil memberikan HPnya kepada kakek shaleh tersebut.
Kemudian kakek itu mengangkat tangannya ke langit dan berdoa kepada Allah untuk memberi gadis itu hidayah atau mencabut nyawanya.
Ketika bus itu tiba di terminal terakhir, semua penumpang turun kecuali gadis cantik tersebut. Sang sopir mengiranya tertidur. Ketika dia hendak membangunkannya, dia mendapati gadis itu telah meninggal.
***
Betapa mustajabnya doa kakek tersebut sehingga tembus ke langit. Dan, betapa buruknya nasip gadis itu, dia meninggal dalam keadaan lalai, tidak sempat bertobat.

Dikutip dari “Kisah-Kisah Penggugah Jiwa” karya Abdurrahman Bakar

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kebesaran Hati Seorang Supir Angkot



Masih banyak orang baik, cerita ini saya dapatkan waktu saya iseng bareng teman saya naik angkutan kota dari Darmaga menuju Terminal Baranang siang, kota Bogor.
Pengemudi angkot itu seorang anak muda, didalam angkot duduk 7 orang penumpang, termasuk kami. Masih ada 5 kursi yang belum terisi, seperti biasa di tengah jalan, angkot-angkot saling menyalip untuk berebut penumpang. Namun ada pemandangan aneh, didepan angkot yang kami tumpangi ada seorang ibu dengan 3 orang anak remaja berdiri di tepi jalan.
Setiap ada angkot yang berhenti dihadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada supir angkot, lalu angkot itu melaju kembali.
Kejadian ini terulang beberapa kali. Ketika angkot yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya: “Dik, lewat terminal bis ya?”, supir tentu menjawab “ya”. Yang aneh si ibu tidak segera naik. Ia bilang “ Tapi saya dan ke 3 anak saya tidak punya ongkos.” Sambil tersenyum, supir itu menjawab “Gak pa-pa bu, naik saja”, ketika si ibu tampak ragu2, supir mengulangi perkataannya “ayo bu, naik saja, gak pa-pa ..”
Saya terpesona dengan kebaikan Supir angkot yang masih muda itu, di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang, tapi si Supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk si ibu dan anak-anaknya. Ketika sampai di terminal bis, 4 orang penumpang gratisan ini turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada Supir.
Di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang rp. 20 ribu. Ketika supir hendak memberi kembalian (ongkos angkot hanya Rp.4 ribu) Pria ini bilang bahwa uang itu untuk ongkos dirinya serta 4 orang penumpang gratisan tadi.
“Terus jadi orang baik ya, Dik ” kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu... Sore itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil yang saya lihat. Seorang Ibu miskin yg jujur, seorang Supir yang baik hati dan seorang penumpang yang budiman.

 

Mereka saling mendukung untuk kebaikan.
Andai separuh saja Bangsa kita seperti ini, maka dunia akan takluk oleh kebaikan kita. Teruslah berbuat baik, sekecil apapun ketulusan yang kita perbuat tentunya sangat berarti bagi orang lain..!!!

»»  Baca Lebih Lanjut...

Pelajaran Hidup Dari Seorang Nelayan



Suatu hari seorang nelayan sedang berbaring di suatu pantai yang indah, dengan joran pancingnya tertancap di pasir dan senar pancingnya terlempar jauh di lautan yang biru. Ia sedang menikmati kehangatan matahari sore dengan harapan akan mendapatkan seekor ikan.
Setelah beberapa waktu berlalu, seorang pengusaha datang jalan-jalan di pantai untuk meringankan strees akibat pekerjaannya. Ia memperhatikan si nelayan yang sedang duduk di pantai dan ia memutuskan untuk mencari tahu mengapa si nelayan ini memancing ikan, bukannya bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. “Anda tidak akan mendapatkan banyak ikan dengan cara seperti itu,” kata si pengusaha pada si nelayan. “Anda sebaiknya bekerja saja daripada berbaring di pantai.”
Si nelayan menatap si pengusaha, tersenyum dan menjawab, “Jika aku bekerja, apa yang akan aku dapatkan?” “Kamu bisa membeli jaring yang lebih besar dan menangkap lebih banyak ikan!” jawab si pengusaha. “Setelah itu, apalagi yang bisa aku peroleh?” tanya si nelayan sambil tersenyum. Si pengusaha menjawab, “Kamu bisa menghasikan banyak uang dan bisa membeli sebuah perahu, sehingga hasil tangkapanmu bisa menjadi lebih banyak!” “Dan apalagi yang bisa aku peroleh setelah itu?” tanya si nelayan lagi. “Kamu bisa membeli perahu yang lebih besar dan mempekerjakan orang-orang untuk bekerja padamu!” kata si pengusaha.
“Kemudian apa yang bisa aku peroleh setelah itu?” tanya si nelayan sekali lagi. Si pengusaha menjadi marah dan berkata, “Tidakkah kamu mengerti? Kamu bisa membangun armada kapal penangkap ikan, berlayar ke seluruh dunia dan biarkan semua pekerjamu menangkap ikan untukmu!” Untuk yang terakhir kalinya si nelayan bertanya, “lalu apalagi yang bisa aku dapatkan setelah itu?” Wajah si pengusaha itu memerah karena marah dan teriak pada nelayan itu, “Tidakkah kamu mengerti bahwa kamu bisa menjadi begitu kaya sehingga kamu tidak perlu bekerja mencari nafkah lagi! Kamu bisa meghabiskan hari-harimu dengan duduk-duduk di pantai sambil memandang matahari terbenam. Anda tidak akan peduli lagi dengan yang lainnya!”
Si nelayan, masih dengan tersenyum, memandang di pengusaha dan berkata, “ Menurutmu apa yang sedang aku lakukan saat ini?”

 

“Segala permasalahan yang terjadi dalam hidup kita, semuanya tergantung bagaimana cara kita dalam menyikapinya.”

»»  Baca Lebih Lanjut...

Terbang di Kelas Pertama


Dalam suatu penerbangan dari Johannesberg, seorang wanita Afrika Selatan berkulit putih dan berusia paruh baya mendapati dirinya duduk di samping seorang laki-laki berkulit hitam. Ia memanggil pramugari dan menyampaikan keluhan tentang tempat duduknya.
“Apa masalah Anda, Nyonya?” tanya pramugari.
“Tidakkah kamu lihat?” ia berkata, “Kamu telah mendudukkanku di samping seorang kulit hitam. Aku tidak mungkin bisa duduk di samping manusia yang menjijikkan ini. Carikan aku tempat duduk lainnya!”
“Tolong tenang, Nyonya,” pramugari itu menjawab. “Penerbangan ini sangat penuh, tetapi saya akan memberi tahu Anda apa yang akan saya lakukan. Saya akan pergi dan memeriksa apakah kami masih mempunyai tempat duduk kosong di kelas klab atau kelas pertama.”
Wanita itu melirik sinis pada laku-laki berkulit hitam hina yang ada di sampingnya.
Beberapa menit kemudian pramugari kembali dengan berita bagus, yang ia sampaikan pada wanita yang selalu menandang orang-orang di sekitarnya dengan senyum kepuasan diri.
“Nyonya, seperti yang saya khawatirkan, kelas ekonomi telah penuh. Saya telah berbicara dengan Direktur pelayanan kabin bahwa kelas klab juga penuh. Namun kami masih memiliki satu tempat duduk di kelas pertama.”
Sebelum wanita itu memiliki kesempatan untuk menjawab, pramugari melanjutkan berkata...
“Untuk melakukan perpindahan luar biasa ini, saya harus meminta ijin kepada Kapten. Dengan melihat situasi yang ada, Kapten berpendapat bahwa sangatlah memalukan seseorang harus dipaksa duduk di samping orang yang menjijikkan.”
Setelah mengatakan hal itu, pramugari berpaling pada laki-laki berkulit hitam yang duduk di samping wanita sombong tadi dan berkata:
“Silakan mengemasi barang-barang Anda, Tuan. Saya telah menyiapkan tempat duduk di kelas pertama untuk Anda.”
Pada saat yang sama, rupanya para penumpang di sekelilingnya telah berdiri dan memberikan standing ovation (tepuk tangan sambil berdiri) saat laki-laki berkulit hitam itu berjalan ke arah depan pesawat terbang.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Aku Ingin MEMBELI Waktu Papa

Steven adalah seorang karyawan perusahaan yang cukup terkenal di Jakarta, memiliki dua putra. Putra pertama baru berusia 6 tahun bernama Leo dan putra kedua berusia dua tahun bernama Kristian. Seperti biasa jam 21.00 Steven sampai di rumahnya di salah satu sudut Jakarta, setelah seharian penuh bekerja di kantornya. Dalam keremangan lampu halaman rumahnya dia melihat Leo putra pertamanya di temani Bik Yati, pembantunya menyambut digerbang rumah.
“Kok belum tidur Leo?” sapa Steven sambil mencium anaknya. Biasanya Leo sudah tidur ketika Steven pulang dari kantor dan baru bangun menjelang Steven berangkat ke kantor keesokan harinya.
“Leo menunggu papa pulang, Leo mau tanya, gaji papa itu berapa sih Pa?” kata Leo sambil membuntuti papanya.
“Ada apa nih,kok tanya gaji papa segala?”
“Leo cuma pingin tahu aja kok pah?”
“Baiklah coba Leo hitung sendiri ya. Kerja papa sehari di gaji Rp.600.000,-, nah selama sebulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Nah berapa gaji papa sebulan?”
“Sehari papa kerja berapa jam Pa?”
“Sehari papa kerja 10 jam Leo, nah hitung sana, Papa mau melepas sepatu dulu.”
Leo berlari ke meja belajarnya dan sibuk mencoret-coret dalam kertanya menghitung gaji papanya. Sementara Steven melepas sepatu dan meminum teh hangat buatan istri tercintanya.
“Kalau begitu,satu bulan Papa di gaji Rp.15.000.000,-,yah Pa? Dan satu jam papa di gaji Rp.60.000,-.” Kata Leo setelah mencoret-coret sebentar dalam kertasnya sambil membuntuti Steven yang beranjak menuju kamarnya.
“Nah, pinter kamu Leo. Sekarang Leo cuci kaki lalu bobok.” Perintah Steven,namun Leo masih saja membuntuti Steven sambil terus memandang papanya yang berganti pakaian.
“Pah, boleh tidak Leo pinjam uang Papa Rp.5.000,- saja?” tanya Leo dengan hati-hati sambil menundukkan kepalanya.
“Sudahlah Leo,nggak usah macam-macam, untuk apa minta uang malam-malam begini. Kalau mau uang besok aja, Papa kan capek mau mandi dulu. Sekarang Leo tidur supaya besuk tidak terlambat ke sekolah!”
“Tapi Pah…”
“Leooo!!! Papa bilang tidur!” bentak Steven mengejutkan Leo.
Segera Leo beranjak menuju kamarnya. Setelah mandi Steven menengok kamar anaknya dan menjumpai Leo belum tidur. Leo sedang terisak pelan sambil memegangi sejumlah uang. Steven nampak menyesal dengan bentakannya. Dipegangnyalah kepala Leo pelan dan berkata: “Maafkan Papa ya nak. Papa sayang sekali pada Leo.” ditatapnya Leo anaknya dengan penuh kasih sambil ikut berbaring di sampingnya.
“Nah katakan pada Papa,untuk apa sih perlu uang malam-malam begini. Besuk kan bisa, jangankan Rp.5.000,- lebih banyak dari itupun akan papa kasih.”
“Leo nggak minta uang Papa kok, Leo cuma mau pinjam. Nanti akan Leo kembalikan, kalu Leo udah menabung lagi daru uang jajan Leo.”
“Iya, tapi untuk apa Leo?” tanya Steven dengan lembut.
“Leo udah menunggu papa dari sore tadi, Leo nggak mau tidur sebelum ketemu Papa. Leo pingin ngajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang bahwa waktu papa berharga. Jadi Leo ingin beli waktu Papa.”
“Lalu.” tanya Steven penuh perhatian dan kelihatan belum mengerti.
“Tadi Leo membuka tabungan, ada Rp. 25.000,-. Tapi karena Papa bilang satu jam papa dibayar Rp.60.000,- maka untuk setengah jam berarti Rp. 30.000,-. Uang tabungan Leo kurang Rp. 5.000,-. Maka Leo ingin pinjam pada Papa. Leo ingin membeli waktu papa setengah jam saja, untuk menemani Leo main ular tangga. Leo rindu pada papa.” Kata Leo polos dengan masih menyisahkan isakannya yang tertahan.
Steven terdiam, dan kehilangan kata-kata. Bocah kecil itu dipeluknya erat-erat, bocah kecil yang menyadarkan bahwa cinta bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata belaka, namun berupa ungkapan perhatian dan kepedulian.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Aku Terpaksa MENIKAHIMU

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu., dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Seorang Pemuda dan Pemilik Restoran Kecil



Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir didepan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut.
“Saya minta semangkuk nasi putih.” Dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan. Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya. Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar berkata dengan pelan : “dapatkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya.” Istri pemilik rumah makan berkata sambil tersenyum : “Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !”
Sebelum habis makannya, pemuda ini berpikir : “kuah sayur gratis.” Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih. “Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.” Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini. “Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya !” Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang ke kota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti. Berpikir sampai di situ pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan di bawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.
Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan dibawah nasi? Suaminya kemudian membisik kepadanya : “Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk dinasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ketempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah.” “Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.” “Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku?” Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
“Terima kasih, saya sudah selesai makan.” Pemuda ini pamit kepada mereka. Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka. “Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat!” katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.
Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah ke rumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari. Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.
Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan diluar kota yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.
Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.
“Apa kabar?, saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian ke sana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan.”
“Siapakah direktur diperusahaan kamu?, mengapa begitu baik terhadap kami? Saya tidak ingat mengenal seseorang yang begitu mulia !” sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.
“Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.”
Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses untuk kerajaan bisnisnya.
Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang. Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya.
Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka : “"Bersemangat ya! Dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok!."
Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kamis, 06 Februari 2014

Guru Terbaik Pagi Ini


Pagi ini aku duduk di pinggir hangatnya tungku api tukang serabi (orang sunda menyebutkan 'surabi'). Selain untuk menikmati beberapa buah diantaranya, aku pun mencoba mencari pelajaran berharga dari alam dan sekelilingnya. Beruntung walaupun langit tetap mendung, hari ini langit sedang rehat mengucurkan guyuran airnya ke atas tanah. Namun bagaimanapu, bagiku alam dan Isinya adalah guru terbaik kehidupan kita.

Semua berangsur dengan biasa, tidak ada yang istimewa. Ada orang-orang berjalan sambil bersenda gurau walau bergerak hanya kekuatan kakinya. Ada orang-orang menggunakan sepeda motor begitu santainya walaup tidak ber-helm. Anak-anak sekolah yang terdengar berteriak-teriak penuh tawa di mobil jemputannya, walau dengan menghamburkan beratus-ratus kartu mainnya. Semua berserakan menyebar di jalanan yang tidak terlalu ramai di depanku.

Aku pikir mobil jemputan itu akan berhenti untuk memberi waktu anak yang menjatuhkannya untuk memunguti kartu-kartu berserakan itu. Ternyata tidak. Aku telah salah sangka karena mobil itu terus melaju bahkan terus belok ke jalan raya utama yang lebih ramai lagi.

Tidak ada yg istimewa terlihat setelahnya. Semua tetap berjalan seperti biasa. Padalah masyarakat kita sudah terbiasa dengan budaya berburu dan berebut ketika mendapatkan sesuatu berserakan di jalan. Entah berburu serakan dus-dus minuman kotak ketika kontainernya terguling. Entah berebut berburu mengais tumpahan minyak karena bocornya tangki truk pengangkutnya yg menabrak pembatas jalan. Jangankan berpikir halal atau haramnya barang yang mereka ambil. Jangankan mikir kemaslahatan, untuk menolong awak truk yang terkena musibah pun susah dilakukan.

Aku berdiri setelah selasai membayar semua yang dimakan. Meski tidak ada yang luar biasa, aku tetap harus terus melanjutkan perjalananku hari ini. Kumenoleh ke kiri dan kanan jalan, berharap mendapatlan sesuatu yang luar biasa. Tetap tidak ada, kecuali seorang anak sekolah yang berjalang biasa pula, malah lebih terlihat lunglai.

Selintas terlihat seperti postur anak-anak didikan pendekar kungfu di kuil dalam film-film Cina. Kepalanya memang tidak plontos, tapi rambutnya dicukur rata dan tersisa sekitar setengah senti. Dia memakai baju koko seragam wajib anak-anak sekolah di hari Jumat pada umumnya. Baju koko putih yang berstrip hitam di bantalan kancingnya pun agak sedikit kepanjangan. Berbeda dengan seragam murid-murid kungfu yang berwarna sama, anak ini menggunakan celana panjang berwarna hitam yang terlihat sedikit kependekan. Itu gambaran biasa anak indonesia dari keluarga yang sangat sederhana. Tidak ada yg luar biasa.

Yang tidak biasa dia dapatkan adalah keisengan yang memang biasa kulakukan. Ketika dia sudah sejarak gapaian tangan kepadaku, aku berkata:
"Dik, suka kartu, khan? Tuh ambillah kartu-kartu yang berserakan untuk bermain-main nanti!"

Aku yang seumuran dia sedang menggandrungi segala jenis kartu. Anak yang menjatuhkan dari mobil jemputan tadi pun seumuran dia. Kalaupun anak yang mirip murid shaolin ini mau membeli ratusan kartu seperti yang berserekan itu, butuh perjuangan besar. Mungkin uang jajan sebulannya pun belum sampai sejumlah itu.

Kupandang dia dengan senyum keyakinan bahwa firasatku dalam menduganya akan benar. Dia dengan segala upaya penuh semangat akan mengumpulkan ratusan kartu yang berserak. Dia adalah anak biasa yang mudah kutebak.

Namun seperseribu detik kemudian, jawabannya benar-benar menohok firasatku. Dia menjawab sambil berlalu dengan dingin.
"Enggak mau, akh! Itu bukan milik saya"

Pikiranku langsung melesat beribu-ribu kilometer menembus lapisan awan. Hanya untuk membayangkan perilaku masyarat Indonesia dari ketinggian sikap jujur anak berkuliat hitam yang mirip murid shaolin. Hitam kulitnya, putih luar biasa hatinya. Ternyata anak yang kutemui ini yang menjadi guru luar biasa di pagi ini.

»»  Baca Lebih Lanjut...