Kamis, 30 Mei 2013

Kutangisi Hari-Hariku Yang Sia-Sia

 
Wajah saudariku memucat, tubuhnya mengering. Meskipun begitu, ia tetap selalu membaca al-Qur’an. Jika engkau mencarinya, ia akan senantiasa rukuk, sujud, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Begitulah yang selalu ia lakukan, baik di pagi hari, sore, bahkan tengah malam tanpa jemu. Sementara itu, aku lebih suka membaca majalah sastra dan buku cerita, atau menonton video. Kewajibanku terbengkalai, bahkan shalatku berantakan. Kendati video sudah kumatikan, tapi aku masih asyik menonton film selama tiga jam berturut-­turut­. Nah, kini adzan berkumandang di mushalla dekat rumahku. Aku kembali ke tempat tidur. Suara saudariku terdengar memanggilku dari mushalla.
“Ya, apa yang engkau inginkan, Naura?” kataku.
Dengan suara datar saudariku bilang, “Jangan dulu tidur sebelum shalat subuh.”
Oh, satu jam lagi baru shalat subuh, karena yang kudengar kali ini baru adzan pertama. Dengan suara yang lembut -begitulah kebiasaan saudariku, bahkan sebelum menderita penyakit ganas yang jatuh terbaring di ranjang- saudariku memanggilku, “Kemarilah, Hanna, duduklah di dekatku.”
Aku tidak kuasa menolak permintaannya. Engkau pun juga pasti begitu. Jika merasakan ketulusan dan kejernihannya, engkau akan tunduk memenuhi ke­inginannya.
“Ada apa, Naura?” kataku.
“Duduklah!”
“Ini aku sudah duduk, ada apa?” desakku.
Dengan suara yang merdu dan welas asih saudariku membacakan ayat Al-Qur’an,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (Ali ‘Imran: 185).
Sejenak ia terdiam. Setelah itu, ia bertanya kepadaku, “Bukankah engkau percaya pada kematian?”
“Ya, aku percaya,” jawabku.
“Bukankah engkau percaya kalau setiap amalmu kelak akan dihisab, baik yang kecil maupun yang besar?”
“Ya, tetapi Allah Maha Penyayang dan perjalanan masih panjang,” jawabku.
“Saudariku, apakah engkau tidak khawatir kematian datang secara tiba-tiba? Lihatlah Hindun lebih muda darimu, ia meninggal dunia karena kecelakaan. Lihatlah si ini dan ini. Kematian tidak mengenal usia.”
Dengan suara ketakutan, karena suasana gelap di mushalla, aku berkata, “Aku sudah takut pada kegelapan. Sekarang engkau menakut-nakutik­u dengan kematian. Kalau begitu, bagaimana aku bisa tidur? Kukira engkau ingin memberitahuku bisa ikut pergi bersama kami di liburan ini.”
Tiba-tiba suara saudariku kertak-kertuk di teng­gorokan. Hatiku begidik. Ia berkata, “Mungkin tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang berbeda. Bisa jadi begitu, Hanna. Usia itu di tangan Allah.”
Setelah berkata demikian, saudariku menangis. Aku mulai memikirkan penyakit ganas yang ia derita. Diam-diam dokter memberi tahu ayahku bahwa karena penyakit yang diderita, usia saudariku tidak lama lagi. Tetapi, siapa yang membocorkan hal itu pada saudariku? Ataukah dig sedang merasakan hal itu?
“Apa yang engkau pikirkan?” kata saudariku membuyarkan pikiranku. “Apakah engkau kira aku berkata begitu karena aku sakit? Tidak. Bisa jadi aku hidup lebih lama daripada orang yang sehat. Dan engkau sendiri sampai kapan akan hidup? Ketahuilah, Hanna, hidup itu hanya sementara. Kemudian apa? Tiap-tiap kita akan pergi meninggalkan dunia ini; ke surga atau neraka. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
”Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung” (Al Ilmran: 185).’”
“Engkau akan baik-baik saja,” kataku seraya berlari meninggalkannya­. Perkataan saudariku terngiang-ngian­g di telingaku.
“Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadamu. Jangan lupa shalat yang delapan di pagi hari.”
Tidak lama setelah itu, aku mendengar pintu kamarku diketuk orang. Jelas ini bukan waktunya aku bangun tidur. Kudengar isak tangisan dan gemuruh suara banyak orang. Apa yang terjadi? Oh, ternyata keadaan Naura mem­buruk, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, ternyata tahun ini tidak jadi berangkat jalan-jalan. Tahun ini aku ditakdirkan untuk tinggal di rumah. Jam satu siang, ayah datang dari rumah sakit.
“Engkau bisa menjenguknya sekarang, ayo cepat,” kata ayah kepadaku.
Menurut ibu, suara ayah mengisyaratkan kegun­dahan. Suaranya berubah. Mantel telah di tangan, lalu di mana supir? Kami pun segera meluncur ke rumah sakit. Jalan yang kami telusuri bersama supir untuk jalan-jalan biasanya tampak pendek. Tetapi, hari ini tampak panjang, bahkan sangat panjang. Di manakah gerangan keru­munan orang yang membuatku menoleh kanan-kiri? Di sampingku ibuku berdoa untuk saudariku.
“Dia anak yang saleh dan taat. Aku belum pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu,” kata ibuku lirih.
Memasuki pintu luar rumah sakit, kami menyaksikan pemandangan banyak pasien. Ada pasien yang mengerang- erang, ada korban kecelakaan, dan ada pula yang matanya cekung. Engkau barangkali tidak bisa membedakan, apakah mereka penghuni dunia atau akhirat. Sebuah pemandangan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Segera kami menelusuri anak tangga. Ternyata, saudariku dirawat di ruang ICU.
Seorang perawat menenangkan ibuku. Ia bilang keadaan saudariku membaik setelah sempat pingsan. Di rumah sakit itu tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan pasien lebih dari satu orang, apalagi ini ruang ICU. Di tengah kerumunan para dokter, melalui jendela kecil kulihat mata saudariku, Naura, melihatku. Adapun ibuku berdiri di sisinya. Dua menit kemudian, ibuku keluar karena tidak sanggup membendung air matanya. Mereka mengizinkanku masuk, asal tidak terlalu banyak berbicara dengan pasien. Dua menit sudah cukup.
“Apa kabar, Naura?” sapaku.
“Sore kemarin aku baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi padamu?
Setelah memagang tanganku, saudariku bilang, “Sekarang, alhamdulillah aku baik-baik saja.”
“Alhamdulillah,­ tapi mengapa tanganmu dingin?” kataku.
Aku duduk di pinggiran dipan sembari memegangi betis Naura.
“Apakah sebaiknya jauhkan yang kiri dari yang kanan, kasihan jika engkau sampai merasa terhimpit,” kataku.
“Tidak, aku hanya memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. ” (Al-Qiyamah: 29-30)
Hanna, doakanlah aku, karena mungkin sebentar lagi aku akan mengawali hari akhiratku. Perjalananku begitu jauh, tetapi bekal yang kubawa teramat sedikit.”
Mendengar perkataan saudariku, air mataku tumpah tak terasa. Aku menangis, tak peduli sedang berada di mana. Aku terus menangis. Ayah kelihatannya lebih mengkhawatirkan­ku daripada Naura. Memang, mereka tidak terbiasa melihatku menangis dan menyendiri di kamar seiring terbenamnya mentari di hari berkabut itu. Rumahku hening mencekam.
Anak perempuan bibiku masuk. Peristiwa begitu cepat terjadi. Orang-orang pun berdatangan. Suara menggaduh. Satu yang kutahu; Naura telah tiada. Naura meninggal dunia. Aku hampir tidak bisa membedakan siapa saja yang datang, juga tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Ya Allah, di manakah daku? Apa yang tengah terjadi? Aku tak berdaya, bahkan untuk menangis sekalipun. Beberapa saat kemudian, mereka memberitahuku bahwa ayah membawaku untuk mengucapkan perpisahan pada saudariku. Selain itu, mereka bilang aku menciumnya. Tidak ada yang kuingat selain satu hal, yaitu ketika aku melihatnya pucat pasi di ranjang kematian sempat membacakan ayat Al-Qur’an, ‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).’ Aku mulai menyadari sebuah hakikat;
‘Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihaIau.’ (AI-Qiyamah: 29-30)
Tanpa sadar, malam itu aku menengok mushalla saudariku. Saat itu aku teringat dengan siapa aku berbagi kasih sayang ibu. Aku terkenang pada orang yang turut menanggung kesedihanku. Aku teringat pada sosok yang turut menghalau dukaku. Selain itu, aku juga teringat pada orang yang memohonkan hidayah Tuhan, dan yang menumpahkan air mata sepanjang malam saat meng­ajakku bicara tentang kematian dan hari penghitungan amal..
Ini malam pertama ia berada dalam kuburnya. Ya Al­lah, kasihanilah ia, dan sinarilah kuburnya. Ini mushafnya, ini sajadahnya, ini … dan ini … Bahkan, ini gaun bermotif bunga yang pernah diceritakan kepadaku, ‘Gaun ini akan kusimpan buat hari pernikahanku.’ Jika teringat pada semua itu, aku tak kuasa membendung air mata pe­nyesalan pada hari-hariku yang sia-sia. Aku terus menangis dan berdoa semoga Allah mengasihiku, menerima taubatku, dan memaafkanku. Aku juga berdoa semoga Allah meneguhkannya di kuburnya seperti yang sering ia mohon pada-Nya.
Entah mengapa, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana jika yang meninggal dunia itu aku? Ke mana arah perjalananku? Karena rasa takut yang menyelimutiku, aku sengaja tidak mencari jawaban. Aku hanya menangis sedu sedan. Allahu Akbar!
Suara adzan subuh berkumandang, kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku merasa damai dan tentram sembari mengulangi bacaan adzan. Kulipat bajuku, lalu berdiri melaksanakan shalat subuh. Aku shalat seperti or­ang yang akan segera mati, sebagaimana shalat yang dilakukan saudariku sebelumnya. Jika pagi aku tidak menunggu petang, dan jika petang aku tidak menunggu pagi. [Az-Zaman al-Qadim, hal.4]

»»  Baca Lebih Lanjut...

Jumat, 03 Mei 2013

Kepahlawan Berawal dari hati

Bob Butler kehilangan kakinya terkena ranjau di Vietnam th 1965.
20 tahun kemudian, ia membuktikan bahwa kepahlawanannya berasal dr hati.
Ketika Butler sedang bekerja di rumahnya di Arizona, ia mendengar jeritan seorg wanita dr sebuah rumah di dekatnya.
Ia mulai menggulirkan kursi rodanya menuju rumah tsb, tetapi semak²  membuatnya tdk bisa masuk.
Lalu ia turun dr kursi rodanya & mulai merangkak melewati semak² tsb. "Aku harus kesana," ktnya. "Tdk peduli betapa sakitnya."
Ketika Butler tiba di kolam renang, ada seorg gadis 3 th, Stephanie Hanes, tercebur ke dalamnya. Ia lahir tanpa lengan & jatuh ke dalam kolam tsb.
Ibunya berdiri berteriak panik. Butler terjun ke dasar kolam & membawanya naik.
Wajahnya membiru, tdk ada denyut & tdk bernapas. Butler segera lakukan pernapasan buatan utk membuatnya bernapas kembali.
Sementara, si Ibu menelepon paramedis. Krn tak berdaya, ia menangis & memeluk bahu Butler.
Butler melanjutkan pemberian napas buatan & dgn tenang meyakinkan si Ibu. "Jangan khawatir, sy sudah jadi tangannya utk keluar dr kolam renang. Kini, sy menjadi paru²nya"
Beberapa saat kemudian gadis kecil itu batuk², sadar kembali & mulai menangis. Si ibu langsung memeluk anaknya.
Sambil berpelukan, si Ibu bertanya pada Butler "Bgm Anda tahu kalau anakku akan baik² saja."
"Sy tdk tahu," ktnya. "Tapi ketika kaki sy meledak di Vietnam, sy sendiri. Tdk ada seorgpun di sana yg membantuku, kecuali seorg gadis Vietnam. Ia berjuang menyeretku ke desanya, ia berbisik dlm bahasa Inggris yg terpatah², "Tdk apa², Anda dpt hidup lagi. Sy akan jadi kaki Anda. Kata² itulah yg membawa harapan bagi jiwa sy & sy ingin lakukan hal yg sama utk dia."
Ada saat² ketika kita tdk bisa berdiri sendiri. Ada saat² ketika kita butuh seseorg utk jadi kaki kita, tangan kita, teman kita.
Ada saatnya kita jadi kaki/tangan utk org lain.
Maka, selalulah JADI PENOLONG!
Pastikan hidup kita berdampak utk org lain. That's REAL LIFE!

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kamis, 02 Mei 2013

8 Kado Terindah

  

Aneka kado ini tidak dijual di toko. Anda bisa menghadiahkannya setiap
saat,dan tak perlu membeli ! Meski begitu, delapan macam kado ini adalah
hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang Anda sayangi.

1. KEHADIRAN
Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai
harganya. Memang kita bisa juga hadir dihadapannya lewat surat, telepon,
foto atau faks. Namun dengan berada disampingnya. Anda dan dia dapat
berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan
intensif. Dengan demikian, kualitas kehadiran juga penting. Jadikan
kehadiran Anda sebagai pembawa kebahagian.

2. MENDENGAR
Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini, sebab, kebanyakan orang
Lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Sudah lama diketehui
bahwa keharmonisan hubungan antar manusia amat ditentukan oleh kesediaan
saling mendengarkan. Berikan kado ini untuknya. Dengan mencurahkan
perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah
menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar
denganbaik, pastikan Anda dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa
menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu
menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya. Ini
memudahkan Anda memberi tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus
berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasihpun akan
terdengar manis baginya.

3. D I A M
Seperti kata-kata, didalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai
Untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari
segalanya. Diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang
karena memberinya "ruang". Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa
gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomeli.

4. KEBEBASAN
Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki
atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku
mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan
adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah, " Kau
bebas berbuat semaumu." Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah
memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal
yang ia putuskan atau lakukan.

5. KEINDAHAN
Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih
ganteng atau cantik ? Tampil indah dan rupawan juga merupakan kado lho.
Bahkan tak salah jika Anda mengkadokannya tiap hari ! Selain keindahan
penampilan pribadi, Anda pun bisa menghadiahkan keindahan suasana
dirumah. Vas dan bunga segar cantik di ruang keluarga atau meja makan
yang tertata indah, misalnya.

6. TANGGAPAN POSITIF
Tanpa, sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran,
sikap atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang
benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba
hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah
ingat,berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih
atas segala hal yang dilakukannya demi Anda. Ingat-ingat pula, pernahkah
Anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga
permintaan maaf ), adalah kado cinta yang sering terlupakan.

7. KESEDIAAN MENGALAH Tidak semua masalah layak menjadi bahan
pertengkaran. Apalagi sampai Menjadi cekcok yang hebat. Semestinya Anda
pertimbangkan, apa iya sebuah hubungan cinta dikorbankan jadi berantakan
hanya gara-gara persoalan itu? Bila Anda memikirkan hal ini, berarti
Anda siap memberikan kado " kesediaan mengalah" Okelah, Anda mungkin
kesal atau marah karena dia telat datang memenuhi janji. Tapi kalau
kejadiannya baru sekali itu, kenapa mesti jadi pemicu pertengkaran yang
berlarut-larut ? Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit
hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna
didunia ini.

8. SENYUMAN
Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman,
terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang
beku, pemberi semangat dalam keputus asaan. pencerah suasana muram,
bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat
untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali
anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi ?

»»  Baca Lebih Lanjut...

Kisah Kepompong

  

Seorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk dan mengamati dalam beberapa jam kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya
melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi.

Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya, dia ambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya.Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap2 mengkerut.Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan
melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yg mungkin akan berkembang dalam waktu.

Semuanya tak pernah terjadi. Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Dia tidak pernah
bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yg menghambat dan perjuangan yg dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Tuhan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.

Kadang-kadang perjuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan, itu mungkin melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yg semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak pernah dapat terbang. Saya memohon Kekuatan ..Dan Tuhan memberi saya kesulitan-kesulitan untuk membuat saya kuat.

Saya memohon Kebijakan ... Dan Tuhan memberi saya persoalan untuk diselesaikan.

Saya memohon Kemakmuran .... Dan Tuhan memberi saya Otak dan Tenaga untuk bekerja.

Saya memohon Keteguhan hati ... Dan Tuhan memberi saya Bahaya untuk diatasi.

Saya memohon kebahagiaan dan cinta kasih...Dan Tuhan memberikan kesedihan kesedihan untuk dilewati.

Saya memohon Cinta .... Dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk
ditolong.

Saya memohon Kemurahan/kebaikan hati.... Dan Tuhan memberi saya kesempatan-kesempatan.

Saya tidak memperoleh yg saya inginkan, saya mendapatkan segala yang
saya butuhkan.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Air Putih Mbah Dukun

DULU, setiap penyakit, dapat disembuhkan dengan air putih, yang kadang dimanterai. Dukun pun tak punya obat lain kecuali air putih. Dan bukan sihir, bukan teluh, secara ilmiah pun, kini teruji, betapa ampuhnya air putih melawan kanker. Wah!

Dukun, barangkali, akan senang dengan penelitian ini. Bayangkan, ahli gizi dari Seattle, Susan Kleiner, Ph.D., R.D, mengatakan banyak mengkonsumsi air putih dapat mengurangi berbagai macam resiko penyakit berbahaya, seperti kanker kandung kemih, kanker usus besar, dan kanker payudara. Ia memang mengatakan, jika sudah mengidap kanker, jelas air putih saja tak akan dapat menyembuhkan tanpa bantuan dokter. 

Keajaiban air putih itu, telah ia buktikan dalam sebuah penelitian ilmiah di Seattle Fred Hutchinson Cancer Research Center terhadap beberapa wanita yang memang memiliki kecenderungan tinggi untuk terjangkit kanker usus besar. Para wanita yang minum lebih dari lima gelas air putih dalam sehari, risiko menderita kanker usus besar menurun hingga 45 persen, dibandingkan mereka yang hanya minum dua gelas atau kurang dalam seharinya.

Tentu saja hasil penelitian tersebut telah menimbulkan tanda tanya besar dalam pikiran beberapa ahli gizi dunia, mengapa air putih yang secara fisik tidak memiliki kandungan gizi apa pun bisa secara efektif mengurangi resiko penyakit kanker. Setelah diteliti, ternyata air diduga bisa mempercepat perjalanan makanan di dalam usus besar, sehingga kontak yang terjadi antara fecal carsinogens (zat pencetus kanker) dengan dinding usus jadi berkurang.

Kendati begitu, hingga saat ini belum ditemukan teori pasti yang dapat menjelaskan mengapa dengan mengkonsumsi air putih dalam jumlah besar dan teratur, bisa mengurangi resiko kanker payudara. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 99 orang wanita, dimana 44 orang di antaranya menderita penyakit kanker payudara, ditemukan suatu hal yang cukup fantastis. Peminum air yang premenopausal (sebelum masa menopause) ternyata memiliki resiko resiko terkena kanker payudara lebih rendah 33 persen, bila dibandingkan dengan wanita lainnya yang tidak terbiasa minum air putih.

Jadi, jangan ragu, mulailah menenggak air putih, sebanyaknya, seseringnya, ya?

»»  Baca Lebih Lanjut...

Abah Latif

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta di segala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah
Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu ..." Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis
tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu,
Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka
nasta'in ...".

 
Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua
yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar,"
berkata Abah Latif seusai shalat bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam
Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan.
'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang
demikianlah hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain
di dalam hakikat itu."
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang mulut para santri.
"Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak,kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan."
"Belum jelas benar bagiku, Abah."
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan."
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang mulut para santri.
Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas
mengucapkan iyyaka na'budu. KepadaMu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslim masih
belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami
menyembah, na'budu."
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah. Ketika sampai di
kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah,
yakni kahlifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum
Muslim dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam
setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah
memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslim telah membawa urusan
rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala
urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa
mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak
bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi
khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka
nast'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepadaNya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih
banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada
hakikatnya melawan Allah."
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia
yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.
Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupanmu untuk tetap bisa menangis.
Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan
untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepadaNya."
1987.

»»  Baca Lebih Lanjut...

Mangkuk yang Cantik, Madu dan Sehelai Rambut

  

Rasulullah SAW, dengan sahabat-sahabatnya Abakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., dan 'Ali r.a., bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a. istrinya Sayidatina Fathimah .ha. putri Rasulullah SAW menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut).

Abubakar r.a. berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut".

Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Utsman r.a. berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Ali r.a. berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Malaikat Jibril AS berkata, "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

Allah SWT berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".

"Sampaikanlah daripadaku walaupun sepotong ayat.." (hadith)

»»  Baca Lebih Lanjut...