Kamis, 27 Oktober 2011

Ketika 3 X 8 = 23


Yan Hui adalah murid kesayangan Confucius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumuni banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang 24?”

Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: “Sobat, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi.”

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan.”

Yan Hui: “Baik, jika Confucius bilang kamu salah, bagaimana?”

Pembeli kain: “Kalau Confucius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?”

Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu.”

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confucius. Setelah Confucius tahu duduk persoalannya, Confucius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Berikan jabatanmu kepada dia.”

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confucius berkata dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confucius tapi hatinya tidak sependapat.

Dia merasa Confucius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confucius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasihat: “Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh.”

Yan Hui menjawab, “Baiklah,” lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasihat Confucius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasihat gurunya yang pertama sudah terbukti.

Apakah saya akan membunuh orang?
Yan Hui tiba di rumahnya saat malam sudah larut dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasihat Confucius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confucius, berlutut dan berkata:
“Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?”

Confucius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh”.

Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum.”

Jawab Confucius : “Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga.
Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?”

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : “Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu.”

Sejak itu, kemanapun Confucius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita :
Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat. Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.
»»  Baca Lebih Lanjut...

Sabtu, 22 Oktober 2011

Asap Dan Api


Suatu ketika, ada sebuah kapal yang tenggelam diterjang badai. Semuanya porak poranda. Tak ada awak yang tersisa, kecuali satu orang yang berhasil mendapatkan pelampung. Namun nasib baik belum berpihak pada pria ini. Dia terdampar pada sebuah pulau kecil tak berpenghuni, sendiri, dan tak punya bekal makanan.

Dia terus berdoa pada Tuhan untuk menyelamatkan jiwanya. Setiap saat dipandangnya ke penjuru cakrawala, mengharap ada kapal yang datang merapat. Sayangnya pulau ini terlalu terpencil, hampir tak ada kapal yang mau melewatinya.

Lama kemudian, pria ini pun lelah untuk berharap. Lalu untuk menghangatkan badan, ia membuat perapian sambil mencari kayu dan pelepah nyiur untuk tempatnya beristirahat. Dibuatnya ruman-rumahan sekedar tempat untuk melepas lelah. Disusunnya semua nyiur dengan cermat agar bangunan itu kokoh dan dapat bertahan lama.

Keesokan harinya, pria malang ini mencari makanan. Dicarinya buah-buahan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Semua pelosok dijelajahi, hingga kemudian ia kembali ke gubuknya. Namun ia terkejut, semuanya telah hangus terbakar, rata dengan tanah hampir tak bersisa. Gubuk itu terbakar karena perapian yang lupa dipadamkannya. Asap membubung tinggi, dan hilanglah semua kerja kerasnya semalam. Pria ini berteriak marah, "Ya Tuhan, mengapa Kau lakukan ini padaku. Mengapa?... Mengapa?", teriaknya melengking menyesali nasib.

Tiba-tiba terdengar peluit yang ditiup. Tuittt...tuuitttt. Ternyata ada sebuah kapal yang datang. Kapal itu mendekati pantai, dan turunlah beberapa orang menghampiri pria yang sedang menangisi gubuknya ini. Pria ini kembali terkejut, ia lalu bertanya, "Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku ada di sini?
Mereka menjawab, "Kami melihat simbol asapmu!!"

Sahabatku, sangat mudah memang bagi kita untuk marah saat musibah itu tiba. Nestapa yang kita terima tampak akan begitu berat saat terjadi dan berulang-ulang. Kita memang bisa memilih untuk marah, mengumpat, dan terus mengeluh. Namun teman, agaknya kita tak boleh kehilangan hati kita. Sebab Tuhan selalu ada pada hati kita walau dalam keadaan yang paling berat sekalipun.

Sahabatku, ingatlah, saat ada "asap dan api" yang membubung dan terbakar dalam hatimu, jangan kecil hati. Jangan sesali semua itu, jangan hilangkan perasaan sabar dalam kalbumu. Sebab, bisa jadi itu semua adalah sebagai tanda dan simbol bagi orang lain untuk datang padamu dan mau menolongmu. Sebab untuk semua hal buruk yang kita pikirkan akan selalu ada jawaban yang menyejukkan dari-Nya. Tuhan Maha Tahu yang terbaik buat kita. Jangan hilangkan harapan itu, dan semua pasti indah pada waktunya.
»»  Baca Lebih Lanjut...

Selasa, 11 Oktober 2011

Kisah Antara Kakak & Adik

Dahulu kala ada 2 orang kakak beradik. Sebelum ayah mereka meninggal, ia berpesan dua hal:
1. Jangan menagih utang kepada orang yang berutang kepadamu
2. Jika pergi dari rumah ke toko jangan sampai mukamu terkena sinar matahari

Waktu pun terus berjalan, dan kenyataan terjadi bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal, si anak sulung bertambah kaya, sedangkan yang bungsu menjadi semakin miskin.

Ibunya yang masih hidup menanyakan hal itu kepada mereka.
Jawab anak yang bungsu,
"Itu karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih utang kepada orang yang berutang kepadaku, dan sebagai akibatnya modalku susut karena orang yang berutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih. Ayah juga berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau bis. Sebenarnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan ayah demikian, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak."

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, ibunya pun menanyakan hal yang sama.
Jawab anak sulung,
"Itu semua karena saya mentaati pesan ayah. Karena ayah berpesan supaya tidak menagih kepada orang yang berutang kepada saya, saya tidak memberikan pinjaman (utangan) kepada orang lain sehingga modal tidak susut. Ayah juga berpesan agar jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko saya tidak boleh terkena sinar matahari. Dengan demikian, saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko lain tutup. Dengan kebiasaan seperti itu, orang akhirnya tahu dan tokoku menjadi laris karena mempunyai jam kerja lebih lama."

Kisah di atas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat ditanggapi dengan persepsi yang berbeda jika kita melihat dengan POSITIVE ATTITUDE. Segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan menuju kesuksesan tetapi kita kadang terhanyut dalam kesulitan karena rutinitas kita. Pilihan ada di tangan anda.

"Berusahalah melakukan hal yang bisa dikerjakan dengan cara yang luar biasa"
-Jehn Lehmann, Kiper Terbaik Tahun 2007 dan The Best Motivator in Arsenal ( Arsene Wenger, Mei 2007 ).
»»  Baca Lebih Lanjut...

Kamis, 06 Oktober 2011

Kisah Tentang Perangkap Tikus

Sepasang suami istri petani pulang ke rumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan dengan seksama sambil menggumam,
"Hmmm...makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar?"


Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah perangkap tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang. Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak,
"Ada perangkap tikus di rumah!....di rumah sekarang ada perangkap tikus!...."
Ia mendatangi ayam dan berteriak,
"Ada perangkap tikus!"
Sang Ayam berkata,
"Tuan Tikus, aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku"

Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak.
Sang Kambing pun berkata,
"Aku turut bersimpati...tapi tidak ada yang bisa aku lakukan."
Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama.
" Maafkan aku, tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali"
Ia lalu lari ke hutan dan bertemu ular.
Sang ular berkata,
"Ahhh...Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku"

Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.

Sang suami harus membawa istrinya ke rumah sakit dan kemudian istrinya sudah boleh pulang, namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam. Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya(kita semua tau, sop ceker ayam sangat bermanfaat buat mengurangi demam). Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya. Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya. Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia.

Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat. Dari kejauhan...Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.

SUATU HARI.. KETIKA ANDA MENDENGAR SESEORANG DALAM KESULITAN DAN MENGIRA ITU BUKAN URUSAN ANDA... PIKIRKANLAH SEKALI LAGI
»»  Baca Lebih Lanjut...